Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menilai tuntutan pidana 7 tahun penjara dan denda Rp600 juta terhadap dirinya terasa sangat tidak adil.
Saat membacakan pleidoi alias nota pembelaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis, ia mengaku heran beban pidana tindakan perintangan penyidikan terhadapnya yang tidak terbukti, bisa melebihi persoalan pokok pidana berupa delik penyuapan, yang setelah melalui tiga kali persidangan tidak cukup alat bukti terhadap perbuatan pidana yang ia lakukan.
Demikian halnya terhadap motif tuduhan kepada dirinya terkait pemberian dana talangan Rp400 juta kepada tersangka Harun Masiku, dia mengaku heran sehingga mempertanyakan keuntungan apa yang diperoleh dengan pemberian dana talangan itu.
Sementara ketika ia diundang Harun Masiku ke Tana Toraja dan terdapat undangan terhadap acara Natal pun, Hasto mengaku tidak mau menghadirinya.
"Hukum menjadi bentuk penjajahan baru karena campur tangan kekuasaan di luarnya," ucap Hasto.
Selain itu, Hasto melanjutkan bahwa terdapat pula rekayasa hukum melalui manipulasi fakta keterangan saksi Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, sehingga ketika ia melakukan teguran keras terhadap Saeful atas perintah dari Harun Masiku, maka hal itu pun dipelintir oleh penuntut umum sebagai pengetahuan Hasto dari awal terhadap dana operasional.
Padahal, kata dia, teguran terhadap Saeful merupakan cermin sikapnya bahwa meminta dana saja dilarang, apalagi melakukan tindak pidana penyuapan.
"Di sini lah penuntut umum telah mengambil logika dan kesimpulan yang salah akibat ketidakmampuan menghadirkan alat-alat bukti," ujarnya.
Sebelumnya, Hasto dituntut pidana 7 tahun penjara dan denda Rp600 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayarkan, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 bulan dalam kasus dugaan perintangan penyidikan dan suap.
Dalam kasus tersebut, ia didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka dalam rentang waktu 2019-2024.
Sekjen DPP PDI Perjuangan itu diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan.
Tidak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu dalam rentang waktu 2019—2020.
Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pengganti antarwaktu (PAW) calon anggota legislatif terpilih dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.