Jakarta (ANTARA) - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menyampaikan bahwa kolaborasi antara pemerintah, media, dan masyarakat merupakan kunci dalam upaya menghadapi perang kognitif di era hiperrealitas.
Dalam diskusi bertajuk "Bagaimana Menghadapi Medan Perang Baru, Cognitive Warfare : Media, Narasi, dan Membangun Persepsi!" di Antara Heritage Center, Jakarta, Senin, Hasan menjelaskan bahwa hiperrealitas adalah kondisi yang membuat individu tidak bisa lagi membedakan dunia nyata dengan dunia simulasi di ruang siber.
Menurut dia, kondisi yang demikian bisa membuat orang mudah mempercayai disinformasi, fitnah, dan kebencian yang beredar di ruang digital.
"Hal seperti ini tidak bisa dilawan oleh satu atau dua institusi saja. Ini harus dilawan bersama-sama, tapi harus dilawan oleh banyak orang dengan kesadaran yang sama," kata Hasan.
Menurut Global Risk Report 2025 World Economic Forum, sepuluh tahun ke depan informasi negatif berupa disinformasi, fitnah, dan kebencian akan menjadi salah satu masalah global yang berpotensi mengancam apabila tidak ditangani dengan baik.
Hasan menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, media massa, platform media sosial, hingga masyarakat dalam upaya untuk mengatasi ancaman akibat penyebaran disinformasi, fitnah, dan kebencian.
Baca juga: Kemkomdigi gandeng Elshinta hadapi gelombang disinformasi
Pakar Komunikasi Publik Widodo Muktiyo juga mengemukakan bahwa kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat diperlukan untuk mengatasi ancaman akibat penyebaran disinformasi, fitnah, dan kebencian.
"Dalam komunikasi publik ada yang pendekatannya public centric, ada yang pendekatannya government centric, dan ada juga yang collaborative centric," katanya.
"Nah, untuk ini, kita butuh kolaborasi, jadi kita tidak bisa pisahkan peran pemerintah dan rakyat. Kalau dipisahkan itu yang rugi kita sebagai bangsa," kata Widodo merujuk pada penanggulangan disinformasi, fitnah, dan kebencian.
Anggota Dewan Pengawas LKBN ANTARA itu menyampaikan bahwa upaya untuk memerangi disinformasi, fitnah, dan kebencian memerlukan kolaborasi dalam jangka panjang.
Kolaborasi jangka panjang, ia melanjutkan, dapat dibangun kalau ada kesamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat tentang upaya untuk menjaga keutuhan bangsa.
"Kita harus bisa lihat sama-sama, kita bersama-sama merapatkan barisan, supaya siapapun nanti akan tumbuh advokasi terhadap bangsa Indonesia. Sehingga, ketika ada pihak yang menyerang, ya dapat dengan mudah kita menyimpulkan dia bukan bagian Indonesia," katanya.
Baca juga: Strategi pemerintah kuatkan ketahanan digital lawan disinformasi
Berdasarkan pengalaman perusahaan milik negara PT Pertamina (Persero), disinformasi, fitnah, dan kebencian dapat diatasi secara efektif dengan upaya bersama.
VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso menceritakan pengalamannya menangani disinformasi setelah kasus pengoplosan bahan bakar minyak jenis Pertamax yang melibatkan anak perusahaan PT Pertamina (Persero), PT Pertamina Patra Niaga.
Menurut dia, Pertamina ketika itu bisa segera menekan peredaran disinformasi yang tidak berhubungan dengan perkara berkat kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk perusahaan media massa.
"Kami menyediakan informasi yang akurat dan tepat, lalu disebarkan dengan cepat lewat kerja sama dengan media-media, termasuk Garuda TV, ANTARA," katanya.
"Apalagi kami koordinasi intens sesama BUMN, sehingga dari media ikut berperan mengedukasi masyarakat tentang informasi yang benar," ia menambahkan.
Dia menyampaikan bahwa tidak sedikit pula warga yang menghubungi Pertamina melalui pusat panggilan 135 untuk meminta klarifikasi.
Menurut dia, pusat panggilan 135 sudah terintegrasi dengan semua kanal komunikasi Pertamina. Masyarakat bisa memanfaatkannya untuk menyampaikan aduan maupun mengecek kebenaran informasi terkait Pertamina.
"Ketika kemarin ramai disinformasi mengenai BBM atau ramai subsidi itu, banyak masyarakat yang cross check untuk memastikan informasi itu benar atau tidak. Jadi kami berterima kasih kepada masyarakat, lewat laporannya itu bisa kami tindak lanjuti," katanya.
Ia menyampaikan bahwa upaya kolaborasi dalam menyebarkan informasi berperan penting setelah perusahaan memberikan respons yang tepat dengan menyebarkan fakta-fakta untuk menghadapi disinformasi.
Menurut dia, situasi berangsur membaik setelah Pertamina dapat memulihkan kepercayaan masyarakat dengan membuktikan bahwa kualitas BBM yang beredar sesuai dengan spesifikasi serta memastikan proses hukum tetap berlanjut.
Baca juga: ANTARA berkolaborasi untuk menyajikan informasi publik
Baca juga: Kemkomdigi andalkan PIP diseminasi program publik ke 3T
Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.