Yogyakarta (ANTARA) - Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Bidang Penyakit Tropik dan Infeksi Prof. Yanri Wijayanti Subronto menekankan pentingnya akses layanan kesehatan yang luas, inklusif, dan berkualitas untuk mencapai target Eliminasi TBC dan Ending AIDS 2030.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Balai Senat UGM, Yogyakarta, Selasa, Prof. Yanri menuturkan keberhasilan program itu amat bergantung pada kesiapan tenaga kesehatan serta kemudahan masyarakat mengakses layanan kesehatan tanpa hambatan.
"Satu hal utama yang menurut kami menjadi faktor penentu kesuksesan program adalah akses, di mana akses dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor pasien dan faktor kesiapan tenaga dan fasilitas kesehatan," ujar Yanri.
Dia mengatakan salah satu tantangan terbesar dalam penanggulangan TBC-HIV adalah stigma terhadap kelompok rentan yang membutuhkan layanan kesehatan.
Baca juga: Menkes sebut vaksin jalur cepat keluar dari jeratan TBC di Indonesia
Kelompok seperti pekerja seks, waria, pengguna narkoba suntik, dan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL), menurut dia, masih menghadapi diskriminasi, baik dari masyarakat maupun tenaga medis.
"Masalahnya bukan hanya soal ketersediaan layanan, tetapi juga bagaimana layanan tersebut bisa diakses oleh semua orang, termasuk kelompok yang sering menghadapi stigma dan diskriminasi," kata Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM ini.
Yanri mengutarakan penelitian yang dilakukan tim UGM dan tim dari Australia menemukan bahwa ketakutan terhadap diskriminasi sering kali membuat kelompok rentan menunda atau bahkan menghindari pemeriksaan dan pengobatan, yang berujung pada keterlambatan diagnosis dan meningkatnya risiko penularan.
Dari sisi tenaga kesehatan, keterbatasan waktu dalam komunikasi dengan pasien serta stigma yang masih ada di kalangan medis juga menjadi penghambat utama.
Merujuk sebuah studi di Yogyakarta, ia menyebut banyak tenaga medis masih memiliki keterbatasan pengetahuan terkait HIV, sementara pasien sendiri enggan menjalani tes HIV karena takut mengetahui hasilnya.
"Penelitian Mahendradhata dkk (2008) di Yogyakarta menunjukkan bahwa pengetahuan pasien maupun tenaga kesehatan terkait HIV masih rendah dan rintangan utama dari pasien untuk tes HIV adalah ketakutan untuk mengetahui hasil tes, sementara rintangan dari tenaga kesehatan adalah terkait waktu untuk komunikasi, stigmatisasi, dan penambahan beban kerja," ujar dia.
Baca juga: Menkes: Buat akhiri TBC 2030 perlu vaksin pada akhir 2028
Prof. Yanri menekankan bahwa integrasi layanan TBC dan HIV perlu diperkuat agar pasien dapat mendapatkan layanan yang lebih cepat dan efisien.
Beberapa strategi yang perlu dikembangkan, kata dia, adalah pelayanan berbasis komunitas, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, serta penggunaan teknologi digital dalam pemantauan pasien.
Pelibatan tenaga penjangkau dan pendamping sebaya dinilai menjadi salah satu cara efektif untuk menjangkau populasi rentan. Tenaga kesehatan juga perlu mendapatkan pelatihan agar mampu menangani pasien dengan lebih humanis, tanpa diskriminasi.
"Kerja sama antara fakultas, rumah sakit, dengan dinas kesehatan, serta organisasi masyarakat sipil diharapkan dapat meningkatkan akses layanan bagi yang membutuhkan," ujar dia.
Mekanisme rujukan yang lebih efisien juga diperlukan agar pasien TBC bisa segera menjalani tes HIV, dan sebaliknya, pasien HIV dapat dengan mudah melakukan skrining TBC.
Selain itu, pemanfaatan teknologi digital dapat membantu pemantauan pasien, misalnya melalui aplikasi kesehatan atau layanan telemedicine yang memastikan kepatuhan terapi.
Berdasarkan hasil penelitian di puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta menunjukkan banyak pasien HIV tidak mendapatkan terapi pencegahan tuberkulosis (TPT), atau jika mendapatkan, tidak menyelesaikannya sesuai aturan.
Hambatan utama dalam kaskade TPT ini meliputi kurangnya edukasi pasien, keterbatasan tenaga kesehatan, kendala logistik dalam distribusi obat, serta kurangnya koordinasi antarinstansi kesehatan.
Menurut Prof. Yanri, eliminasi TBC dan HIV tidak hanya bergantung pada kebijakan kesehatan semata, tetapi juga membutuhkan perubahan pola pikir di masyarakat.
Pendidikan dan peningkatan kesadaran publik dapat membantu menghilangkan stigma serta mendorong lebih banyak orang untuk mengakses layanan kesehatan sejak dini.
Menurut dia, pemahaman yang komprehensif tentang TBC dan HIV dapat membantu dalam pembuatan dan implementasi program yang lebih efektif.
Lebih dari itu, pelayanan kesehatan harus berbasis empati dan kemanusiaan agar dapat benar-benar menjangkau mereka yang membutuhkan.
"Saatnya kita lebih toleran, lebih tidak menghakimi, dan dapat memberikan layanan dengan pikiran dan hati yang terbuka," tutur dia.
Baca juga: Kemenkes bangun kolaborasi untuk eliminasi TBC
Baca juga: Percepat eliminasi, Menkes targetkan sejuta temuan kasus TBC pada 2025
Baca juga: Menkes: Presiden setujui tambah 500 juta dolar AS dana penanganan TBC
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2025