Gunakan LHKPN sebagai alat pemberantasan korupsi

3 hours ago 1
Saatnya masyarakat aktif bergerak melaporkan segala bentuk dugaan korupsi ke aparat penegak hukum.

Jakarta (ANTARA) - Pemberantasan korupsi memerlukan partisipasi masyarakat. Jika diberi kesempatan, semua lapisan masyarakat tentu senantiasa siap sedia menjadi agen pemberantasan korupsi.

Agar masyarakat bisa menjadi agen pemberantasan korupsi yang efektif, tentu, harus ada instrumen baku dan mudah diakses agar setiap orang bisa berpartisipasi.

Instrumen seperti itu sebenarnya telah ada, yaitu dalam bentuk Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang berfungsi untuk mengawasi harta kekayaan penyelenggara negara dan juga sebagai instrumen untuk mempertanggungjawabkan kepemilikan harta kekayaannya.

"LHKPN sebagai instrumen pencegahan korupsi merupakan bentuk transparansi kepemilikan dan asal-usul harta kekayaan seorang penyelenggara negara," kata Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi Pahala Nainggolan.

Itu tidak lain karena LHKPN bisa diakses secara terbuka oleh masyarakat. Hal itu sekaligus sebagai wujud pelibatan publik dalam pemberantasan korupsi, khususnya melalui upaya-upaya pencegahan.

LHKPN memuat data harta kekayaan para pejabat beserta asal-asal usulnya, mulai dari tanah dan bangunan, kendaraan, surat berharga, uang kas atau setara kas, harta lainnya serta utang.

Harta kekayaan yang tertera dalam LHKPN juga menyertakan harta milik suami, istri, dan anak dalam tanggungan. Semua harta kekayaan milik pejabat penyelenggara negara harus disertakan dengan jujur dalam LHKPN dan akan diverifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku lembaga yang mengelola data LHKPN.

Tentunya akan muncul pertanyaan apakah LHKPN ini akan menjadi instrumen pemberantasan korupsi yang efektif? Jawabannya adalah tentu saja iya. Dengan instrumen tersebut penegak hukum bisa mengawasi wajar atau tidaknya penambahan atau pengurangan harta kekayaan seorang pejabat bersadarkan profil jabatannya.

LHKPN juga memberikan akses kepada masyarakat untuk mengawasi harta kekayaan seorang pejabat penyelenggara negara. Masyarakat yang berada dekat dengan pejabat terkait bisa melihat langsung apakah harga kekayaan yang dimiliki oleh pejabat terkait sesuai dengan yang dilaporkannnya di dalam LKHPN.

Kalau sesuai artinya pejabat tersebut sudah memenuhi kewajibannya soal keterbukaan atas kepemilikan hartanya selaku pejabat publik. Namun jika tidak sesuai, masyarakat bisa melaporkan ketidaksesuaian tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sejauh ini sudah ada tiga pejabat yang dipidanakan oleh komisi antirasuah itu yang berawal dari laporan masyarakat terkait ketidaksesuaian harta yang dimiiki mereka dengan yang dilaporkan di LHKPN.

Yang pertama adalah Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Jakarta Selatan II Rafael Alun Trisambodo.

Harta kekayaan terkait dengan Rafael menjadi viral setelah anak Rafael terlibat dalam kasus penganiayaan yang kemudian menyerempet soal flexing.

Warganet pun menyoroti soal sejumlah harta Rafael Alun yang tidak tercantum dalam LHKPN hingga akhirnya membuat KPK bergerak untuk mengundang yang bersangkutan untuk memberikan klarifikasi.

Kemudian kasus penganiayaan itu berkembang menjadi kasus korupsi setelah KPK menemukan bukti-bukti kuat dan menetapkan Rafael Alun Trisambodo sebagai tersangka tindak pidana korupsi penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Perkara Rafael Alun Trisambodo akhirnya bergulir di persidangan. Dia divonis 14 tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsider tiga bulan penjara. Selain itu, Rafael Alun juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp10 miliar, subsider tiga tahun penjara.

Pihak KPK mengeksekusi putusan perkara korupsi Rafael Alun Trisambodo dan menyita uang senilai Rp40,5 miliar yang kemudian disetorkan ke kas negara.

Pejabat kedua yang dipidanakan KPK berawal dari LHKPN adalah Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Yogyakarta Eko Darmanto.

Sosok Eko Darmanto mendapat sorotan publik lantaran kerap pamer kemewahan lewat unggahannya di media sosial, seperti foto di depan pesawat terbang dan foto dengan motor gede.

Gaya hidup mewah pejabat Bea Cukai tersebut memicu kritik dari masyarakat dan mendorong Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai mencopot Eko Darmanto dari jabatannya sebagai Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta.

Hal itu juga yang membuat Eko akhirnya berurusan dengan lembaga antirasuah hingga akhirnya dipanggil untuk memberikan klarifikasi soal LHKPN miliknya. Atas dasar hasil klarifikasi tersebut, KPK kemudian membuka penyelidikan, penyidikan, hingga penetapan status tersangka terhadap yang bersangkutan.

KPK mengungkapkan akumulasi nilai dugaan gratifikasi dan TPPU yang dilakukan Eko Darmanto mencapai sekitar Rp37,7 miliar.

Pejabat ketiga yang berurusan dengan KPK karena LHKPN adalah Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Makassar Andhi Pramono.

Nama Andhi Pramono menjadi sorotan warganet setelah foto rumah mewahnya di kompleks Legenda Wisata Cibubur dan gaya hidup mewah putrinya viral di media sosial.

KPK juga menyatakan telah menerima laporan dan informasi dari berbagai sumber, termasuk dari media sosial soal Andhi Pramono.

Atas laporan tersebut, KPK kemudian memanggil Andi Pramono untuk memberikan klarifikasi mengenai isi LHKPN-nya. Pemeriksaan LHKPN tersebut kemudian terus bergulir hingga naik ke tahap penyidikan dan Andhi Pramono akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penerimaan gratifikasi dan TPPU, dengan dugaan penerimaan gratifikasi hingga Rp28 miliar.

Perkara tersebut kemudian bergulir ke meja hijau dengan Andhi Pramono terbukti menerima gratifikasi dengan total sejumlah Rp58,9 miliar dari sejumlah pihak saat ia menjabat sejumlah posisi strategis di Ditjen Bea dan Cukai. Dia kemudian dituntut pidana 10 tahun penjara dan uang pengganti Rp1 miliar.

Kepatuhan LHKPN

Pejabat penyelenggara negara yang menduduki jabatan tertinggi di Indonesia yakni Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah memenuhi kewajibannya untuk mengisi LHKPN

Demikian juga 123 orang menteri, wakil menteri, dan kepala lembaga setingkat menteri di Kabinet Merah Putih. KPK menyatakan semua telah menyerahkan LHKPN. Dengan demikian kepatuhan LHKPN jajaran Kabinet Merah Putih telah mencapai 100 persen.

Lebih lanjut KPK mengungkapkan ada 418.665 pejabat yang merupakan wajib lapor LHKPN pada 2025. Berdasarkan data per 31 Januari 2025, sebanyak 145.320 wajib lapor sudah menyampaikan LHKPN-nya, atau sekitar 33,45 persen.

KPK pun mengimbau para pejabat penyelenggara negara tersebut untuk segera menyampaikan LHKPN-nya secara benar dan lengkap sebelum 31 Maret 2025.

Seluruh LHKPN yang telah diverifikasi oleh KPK itu kemudian bisa diakses masyarakat pada laman https://elhkpn.kpk.go.id.

Dengan hadirnya LHKPN tersebut, masyarakat di seluruh penjuru Indonesia sudah dibekali dengan instrumen untuk aktif terlibat dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi.

Masyarakat pun tidak perlu ragu melapor ke KPK, karena komisi antirasuah itu sepenuhnya menjamin kerahasiaan identitas pihak yang memberikan laporan dugaan korupsi.

Oleh karena itu, kini tidak ada lagi alasan publik tutup mata dan apatis dengan korupsi di sekitarnya. Saatnya masyarakat aktif bergerak melaporkan segala bentuk dugaan korupsi ke aparat penegak hukum.

Korupsi adalah musuh bersama. Musnahnya korupsi dari Tanah Air tentunya akan menjadi awal terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |