Jakarta (ANTARA) - Istilah "gabah any quality" mungkin terdengar sederhana, tetapi menyimpan kompleksitas yang perlu menjadi perhatian bersama.
Ini bukan sekadar soal kadar air atau kadar hampa. Lebih jauh, istilah ini mencerminkan kondisi bahwa gabah yang diperdagangkan memiliki kualitas yang sangat bervariasi baik dari sisi fisik, kimiawi, hingga kebersihannya.
Dalam praktiknya, ini berarti tidak ada jaminan bahwa gabah yang dibeli akan memenuhi standar kualitas tertentu.
Secara fisik, gabah bisa berbeda dalam ukuran, bentuk, bahkan warna. Secara kimia, kadar air dan kandungan nutrisinya pun bisa jauh dari harapan.
Dari sisi kebersihan, tak jarang ditemukan gabah dengan campuran kotoran, debu, atau benda asing.
Dalam istilah yang lebih membumi di kalangan pelaku perdagangan gabah, ini disebut gabah “apa adanya”. Yaitu gabah kering panen yang dilepas petani ke pasar tanpa banyak pertimbangan soal kualitas.
Fenomena ini makin menonjol sejak diterbitkannya Keputusan Badan Pangan Nasional Nomor 14/2025 yang membebaskan petani menjual hasil panennya, ditambah dengan kebijakan satu harga, Rp6.500 per kilogram, yang mengikat Perum Bulog untuk menyerap gabah petani, tanpa memperhatikan variasi kualitas.
Alhasil, Perum Bulog terjebak dalam posisi dilematis yakni tetap menyerap gabah demi menjaga cadangan beras pemerintah, tapi berisiko besar menghadapi berbagai persoalan di kemudian hari.
Risikonya tidak main-main. Setidaknya ada enam dampak utama jika Perum Bulog terus membeli gabah “any quality”.
Pertama, kualitas gabah tidak terjamin, yang otomatis menurunkan kualitas beras yang dihasilkan.
Kedua, proses pengolahan beras rentan terganggu, mesin penggilingan bisa rusak, pengemasan jadi tidak maksimal. Ketiga, nilai ekonomi gabah turun drastis, yang berarti kerugian finansial.
Keempat, beras yang diproduksi bisa merugikan konsumen dari segi rasa, tampilan, bahkan keamanan pangan.
Kelima, citra Bulog sebagai penyedia beras berkualitas akan terancam, terutama jika terjadi kejadian seperti “beras berkutu” yang dulu sempat menjadi skandal.
Dan keenam, distribusi beras bisa terganggu karena proses sortir dan pengolahan memakan waktu lebih lama.
Tak hanya itu, ketidakterjaminan kualitas gabah juga akan berdampak pada strategi logistik nasional.
Beras yang tidak memenuhi standar akan memperlambat rotasi stok dan menyulitkan prediksi ketahanan pangan di berbagai wilayah.
Edukasi Petani
Di tengah ancaman perubahan iklim dan potensi krisis pangan global, fleksibilitas dalam kualitas bisa menjadi batu sandungan besar bagi sistem distribusi pangan nasional.
Melihat realitas ini, langkah Bulog untuk mulai lebih selektif dalam menyerap gabah patut diapresiasi, meski baru dilakukan setelah ratusan ribu ton gabah “apa adanya” sudah telanjur masuk gudang.
Selektivitas ini tidak hanya soal memilih mana gabah yang layak, tapi juga tentang membangun ekosistem produksi yang lebih berkualitas dari hulu.
Kesadaran ini pun mulai menumbuhkan semangat baru yakni edukasi untuk petani. Panen jangan dilakukan terburu-buru.
Petani perlu menunggu waktu yang tepat agar gabah yang dihasilkan matang sempurna dan tidak berwarna hijau.
Edukasi ini bukan tanggung jawab petani sendiri, melainkan bagian dari tugas besar penyuluh pertanian sebagai garda terdepan pengetahuan di desa.
Mereka harus mampu mentransformasi ilmu pertanian modern, termasuk pascapanen, menjadi praktik harian yang dipahami dan diterapkan oleh petani.
Maka ke depan, fungsi penyuluhan pertanian harus diperkuat dalam menghadapi tantangan struktural. Keterbatasan jumlah tenaga penyuluh aktif, kurangnya pelatihan berkelanjutan, serta minimnya dukungan teknologi tidak boleh lagi menjadi kendala.
Sebab di sinilah letak investasi paling strategis bagi ketahanan pangan masa depan yakni pada sumber daya manusia petani itu sendiri.
Ketegangan antara keharusan menyerap gabah sebanyak-banyaknya demi stok nasional dan keinginan untuk menjaga kualitas agar tetap layak konsumsi adalah paradoks kebijakan pangan yang perlu disikapi bijak.
Pemerintah butuh cadangan yang cukup, namun publik menuntut beras yang aman dan layak makan.
Di tengah dua kutub inilah Bulog harus memainkan peran strategis untuk menjaga keseimbangan antara kuantitas dan kualitas.
Dalam jangka panjang, dibutuhkan pembenahan menyeluruh mulai dari regulasi hingga infrastruktur pendukung seperti pengering gabah, tempat penyimpanan modern, dan sistem digitalisasi mutu yang bisa diakses semua pelaku.
Namun, proses membangun kesadaran kualitas ini tentu tidak bisa terjadi dalam semalam. Diperlukan waktu, konsistensi, dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk dinas pertanian, lembaga riset, perguruan tinggi, serta sektor swasta.
Penelitian mengenai varietas unggul yang lebih tahan terhadap kondisi panen yang kurang ideal pun perlu diperbanyak dan disosialisasikan. Kolaborasi ini dapat mendorong terciptanya sistem produksi gabah yang lebih tahan banting, baik dari sisi mutu maupun nilai jual.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu melihat kembali dan mengevaluasi kebijakan satu harga agar ke depan semakin mendatangkan keadilan bagi semua. Sebab jika menyamaratakan kondisi lapangan ibarat menyederhanakan masalah kompleks dengan satu solusi.
Petani yang bekerja keras menghasilkan gabah berkualitas semestinya mendapatkan insentif lebih tinggi daripada mereka yang menjual gabah “apa adanya”.
Skema harga diferensial berbasis kualitas bisa menjadi solusi antara lain melalui penguatan kelembagaan petani dan penataan rantai pasok yang lebih adil dan transparan.
Dengan begitu, kualitas tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar dihargai secara ekonomi.
Tanpa sejumlah langkah itu, keinginan untuk menyeimbangkan kualitas dan kuantitas hanya akan jadi wacana musiman tanpa implementasi nyata di lapangan.
Semoga segera hadir kebijakan yang lebih adil dan adaptif, bukan hanya untuk mengatasi soal gabah “any quality”, tetapi juga untuk memperkuat fondasi tata kelola pangan nasional yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Baca juga: Menyatukan pasukan "pengawal" untuk swasembada pangan
Baca juga: HKTI nilai HPP gabah hingga MBG pacu kesejahteraan petani
Baca juga: Proyek pengolahan gabah garapan Waskita telah beroperasi
Baca juga: Bapanas ajak TNI-Polri bantu edukasi petani hasilkan gabah berkualitas
*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.
Copyright © ANTARA 2025