Jakarta (ANTARA) - Pergantian Menteri Keuangan selalu menjadi momen penting dalam perjalanan perekonomian Indonesia.
Sri Mulyani Indrawati telah memimpin Kementerian Keuangan dalam dua periode pemerintahan berbeda dengan capaian yang menorehkan sejarah, terutama dalam menjaga kredibilitas fiskal, memperkuat tata kelola, dan mengawal ketahanan APBN di tengah gejolak global.
Kini, tongkat estafet fiskal berpindah ke Menteri Keuangan yang baru di era Presiden Prabowo Subianto. Purbaya Yudhi Sadewa resmi ditunjuk Presiden sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) menggantikan Sri Mulyani Indrawati.
Purbaya sejak 3 September 2020 merupakan Ketua Dewan Komisioner (DK) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sebelum memimpin LPS, ia pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (2018-2020), serta pernah menjadi Staf Khusus Bidang Ekonomi di berbagai kementerian, antara lain di Kemenko Maritim (2016-2018), Kemenko Polhukam (2015-2016), serta Kemenko Perekonomian (2010-2014).
Suksesi ini bukan sekadar pergantian leadership secara normatif, melainkan juga transisi paradigma: dari fokus stabilisasi dan konsolidasi fiskal menuju arah baru yang selaras dengan Asta Cita Prabowo, yakni pembangunan ekonomi yang lebih berdaulat, berkeadilan, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Sebagai ekonom lulusan University of Illinois dan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, Sri Mulyani membawa reputasi internasional yang menguatkan posisi Indonesia di mata dunia. Selama masa jabatannya, ia berhasil menjaga defisit APBN agar tetap terkendali, menurunkan rasio utang terhadap PDB, serta mendorong reformasi perpajakan melalui program tax amnesty, modernisasi core tax system, dan ekstensifikasi pajak digital.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan, defisit APBN berhasil ditekan dari 6,14 persen PDB pada puncak pandemi 2020 menjadi 2,38 persen PDB pada 2023, bahkan lebih rendah dari target Undang-Undang APBN. Rasio utang pemerintah juga tetap terkendali di kisaran 38 - 39 persen PDB, jauh di bawah ambang batas 60 persen PDB sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara.
Perannya dalam menghadapi krisis juga patut dicatat. Pada masa pandemi Covid-19, Sri Mulyani mampu menggunakan APBN sebagai instrumen countercyclical, menyalurkan stimulus fiskal lebih dari Rp695 triliun untuk 2020–2021, serta menjaga kepercayaan pasar dengan tetap mempertahankan disiplin anggaran. Dengan demikian, ia meninggalkan warisan berupa fondasi kebijakan fiskal yang kredibel dan sistem pengelolaan keuangan negara yang semakin transparan.
Mengawal transformasi ekonomi
Sementara itu, Menteri Keuangan baru datang dengan latar belakang yang berbeda, meski tetap memiliki basis akademik dan pengalaman teknokratis yang kuat. Ia dipandang sebagai ekonom yang lebih berorientasi pada transformasi pembangunan, industrialisasi, dan hilirisasi sumber daya alam.
Jika Sri Mulyani identik dengan peran “penjaga stabilitas fiskal”, maka Purbaya Yudhi Sadewa dihadapkan pada tantangan untuk menjadi “arsitek transformasi fiskal” yang mampu mendukung agenda besar Presiden Prabowo. Fokus kebijakannya diproyeksikan pada penguatan belanja produktif, insentif untuk sektor strategis seperti pangan, energi, pertahanan, serta penciptaan lapangan kerja dalam skala masif.
Dalam APBN 2025, misalnya, belanja negara dipatok sekitar Rp3.750 triliun dengan porsi belanja prioritas yang lebih besar untuk kedaulatan pangan, subsidi energi, serta alokasi anggaran pertahanan. Sementara penerimaan pajak ditargetkan tumbuh di atas 12 persen dengan tax ratio 10,03 persen PDB, menuntut strategi optimalisasi penerimaan dan kepatuhan wajib pajak yang lebih agresif.
Jika ditelaah lebih dalam, gaya kepemimpinan dan fokus kebijakan Sri Mulyani dengan Menteri Keuangan yang baru sebenarnya menggambarkan dua wajah berbeda dari pengelolaan fiskal Indonesia.
Sri Mulyani dikenal sebagai figur teknokrat yang menempatkan disiplin fiskal sebagai fondasi utama. Kehati-hatiannya dalam menjaga defisit, mengendalikan rasio utang, serta menjaga investment grade Indonesia menjadi ciri khas kepemimpinannya.
Ia lebih mengedepankan kredibilitas dan stabilitas, bahkan ketika harus menghadapi tekanan politik atau tuntutan untuk memperbesar belanja negara. Dalam hal ini, Sri Mulyani berperan sebagai “penjaga gawang” yang memastikan APBN tidak terjebak pada jebakan defisit berkepanjangan.
Sementara itu Purbaya Yudhi Sadewa hadir dengan pendekatan yang lebih progresif dan transformatif. Ia tidak hanya dituntut untuk menjaga stabilitas, tetapi juga harus menjadikan APBN sebagai lokomotif pembangunan.
Belanja negara diarahkan untuk lebih produktif, terutama pada sektor-sektor yang menjadi prioritas Asta Cita Presiden Prabowo: pangan, energi, pertahanan, dan industrialisasi berbasis sumber daya alam.
Jika Sri Mulyani menekankan pada keberlanjutan fiskal dalam jangka panjang, maka Menteri baru dituntut untuk menunjukkan hasil nyata dalam bentuk penciptaan lapangan kerja, peningkatan daya beli masyarakat, dan percepatan industrialisasi.
Dengan kata lain, Sri Mulyani mewariskan APBN yang sehat dan kredibel, dan Purbaya Yudhi Sadewa diharapkan mampu menggunakannya sebagai instrumen percepatan pembangunan nasional. Estafet fiskal ini ibarat pergantian dari pelari yang menjaga ritme stabil menuju pelari yang bertugas melakukan sprint agar target garis akhir Asta Cita dapat dicapai tepat waktu.
Wujudkan Astacita
Presiden Prabowo melalui Astacita telah menegaskan arah pembangunan nasional: kedaulatan pangan dan energi, industrialisasi berbasis SDA, peningkatan kesejahteraan rakyat, serta pertahanan yang kuat. Semua agenda besar ini membutuhkan instrumen fiskal yang tidak hanya kredibel, tetapi juga ekspansif dan berpihak.
Suksesi kepemimpinan keuangan negara menjadi momentum untuk menghubungkan warisan Sri Mulyani dengan visi baru pemerintahan. Jika warisan berupa disiplin fiskal ditinggalkan, maka tugas Menteri Keuangan baru adalah memastikan disiplin itu tidak menjadi belenggu, melainkan landasan bagi ekspansi fiskal yang produktif. Dengan demikian, APBN dapat berfungsi sebagai engine of growth, bukan hanya sebagai instrumen penyeimbang.
Di tengah dinamika politik dan tantangan global yang silih berganti, kiprah Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan layak mendapatkan apresiasi yang tinggi. Ia pernah dipercaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemudian kembali diminta Presiden Joko Widodo, hingga turut mendampingi awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Dalam setiap periode kepemimpinannya, Sri Mulyani konsisten menghadirkan kebijakan fiskal yang kredibel, menjaga stabilitas makroekonomi, serta memperkuat posisi Indonesia di panggung internasional.
Di era SBY, ia dikenal sebagai tokoh reformasi birokrasi keuangan negara, memperkuat penerimaan pajak, dan menata belanja negara dengan lebih transparan. Pada masa Jokowi, ia memainkan peran kunci dalam membiayai pembangunan infrastruktur, menangani pandemi Covid-19, dan menjaga kepercayaan investor.
Di awal kepemimpinan Prabowo, ia turut memastikan transisi fiskal berjalan mulus dengan tetap menjaga defisit dan rasio utang dalam batas aman. Semua pencapaian ini merupakan warisan berharga bagi bangsa, yang menjadi fondasi kuat bagi Menteri Keuangan baru untuk melangkah lebih jauh.
Estafet fiskal
Pergantian kepemimpinan di Kementerian Keuangan bukanlah sekadar soal meninggalkan masa lalu, melainkan merajut kesinambungan.
Sri Mulyani telah meletakkan pondasi yang kokoh dalam menjaga kredibilitas fiskal, menata disiplin anggaran, dan membangun reputasi Indonesia sebagai negara dengan tata kelola keuangan yang dipercaya dunia internasional. Warisan tersebut adalah modal besar yang tidak boleh diabaikan, sebab kredibilitas adalah syarat mutlak bagi negara berkembang yang masih sangat bergantung pada kepercayaan investor, lembaga keuangan global, serta stabilitas pasar domestik.
Di sisi lain, tantangan baru yang dihadapi Indonesia menuntut lebih dari sekadar stabilitas. Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, hadir dengan mandat untuk melangkah lebih jauh, membangun menara yang lebih tinggi di atas fondasi yang telah diwariskan pendahulunya.
Jika Sri Mulyani berperan sebagai penjaga gawang agar defisit dan utang tetap terkendali, maka Purbaya dihadapkan pada tugas menjadikan APBN sebagai motor penggerak pembangunan—mulai dari industrialisasi, hilirisasi, hingga penciptaan lapangan kerja dalam skala besar.
Suksesi ini menjadi momentum penting untuk menyelaraskan warisan dengan visi baru pemerintahan. Disiplin fiskal yang dijaga ketat di masa lalu tidak boleh berubah menjadi belenggu yang membatasi ruang gerak pembangunan, melainkan harus menjadi landasan bagi ekspansi fiskal yang produktif dan terukur.
Di bawah kepemimpinan Purbaya, APBN diharapkan mampu menjadi instrumen akselerasi pencapaian Asta Cita Presiden Prabowo: kedaulatan pangan, energi, pertahanan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, estafet fiskal ini akan menentukan arah Indonesia dalam lima tahun ke depan. Jika kesinambungan warisan dan transformasi visi dapat dijalankan dengan seimbang, Indonesia bukan hanya mampu menjaga kredibilitas di mata dunia, tetapi juga memanfaatkan instrumen fiskal untuk mempercepat pembangunan nasional.
Keberhasilan Purbaya akan menjadi ukuran sejauh mana APBN benar-benar berfungsi sebagai engine of growth, bukan hanya sebagai instrumen penyeimbang, melainkan sebagai penggerak utama menuju kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
*) Dr. M. Lucky Akbar adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Kementerian Keuangan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.