Jakarta (ANTARA) - Dalam sebuah wawancara yang biasanya jarang dilakukan oleh pemimpin lembaga spionase Rusia, Direktur Badan Intelijen Luar Negeri (SVR) Rusia Sergey Naryshkin baru-baru ini menyatakan bahwa Amerika Serikat mulai kehilangan kendali atas situasi global.
Wawancara yang dilakukan oleh kantor berita Rusia, RIA Novosti itu mengutip ucapan Naryshkin yang menyebutkan bahwa hegemoni lama yang diwakili AS secara bertahap tengah merosot dan kehilangan kendali.
Tentu saja, berbagai pihak dapat mengeluarkan argumen yang menentang penilaian Naryshkin, tetapi ada sejumlah peristiwa yang layak disorot di AS yang terkait dengan penilaian tersebut. Salah satu peristiwa itu adalah kontroversi penutupan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) yang dilakukan oleh Elon Musk, miliarder yang kini mengepalai Departemen Efisiensi Pemerintah AS (DOGE).
Menurut cuitannya di akun X pada Ahad (2/2), Musk menyebut USAID sebagai "organisasi kriminal" yang sudah saatnya untuk "mati".
USAID merupakan alat utama dalam kebijakan luar negeri AS dalam konteks, antara lain, memberikan bantuan kemanusiaan, mendorong demokrasi, dan mendukung pembangunan ekonomi di banyak negara. Dengan demikian, berbagai bentuk bantuan yang disalurkan oleh USAID dapat dikatakan sebagai bentuk membantu meningkatkan citra global AS serta memperkuat hubungan hubungan Paman Sam dengan negara lain.
Sedangkan DOGE itu dibentuk Presiden AS Donald Trump dengan tujuan memangkas pengeluaran federal untuk melakukan penghematan. Maka, USAID yang pada tahun fiskal 2023 mengelola dana lebih dari 40 miliar dolar AS merupakan target empuk DOGE.
Musk menyatakan penutupan USAID itu telah disetujui oleh Presiden Trump, serta dia juga mengunggah di X bahwa tujuannya adalah menghentikan agar uang pajak warga AS "tidak dicuri karena sampah dan penipuan".
Bila bantuan yang diberikan oleh USAID dapat dikategorikan sebagai "sampah dan penipuan", maka dapat dikatakan bahwa kekuatan soft power (daya halus) AS juga sedang tergerus. Hal ini karena daya halus suatu negara merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain melalui cara-cara nonkoersif, seperti budaya, diplomasi, dan bantuan pembangunan.
Dengan terhentinya bantuan dari USAID kepada sejumlah negara, maka dapat dipastikan bahwa kemampuan daya halus AS juga akan memudar. Hal ini juga membuka berbagai upaya dari negara pesaing AS (baca: China) untuk dapat menggelontorkan bantuan lebih banyak dan menunjukkan kekuatan daya halus mereka di tengah merosotnya bantuan AS.
Selain penutupan USAID, Elon Musk melalui akun media sosial DOGE juga mengatakan telah menghemat lebih dari 1 miliar dolar AS dengan membatalkan kontrak terkait program Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi (DEI). Berbagai program DEI dirancang untuk mendorong keadilan, keterwakilan, dan peluang bagi orang-orang dari berbagai latar belakang di berbagai sektor, termasuk di beragam tempat kerja, bidang pendidikan, sektor pemerintahan, dan banyak lagi jenisnya.
Dalam beberapa kasus, program DEI mungkin terkait dengan kebijakan tindakan afirmatif yang bertujuan untuk memperbaiki diskriminasi di masa lalu dengan memberikan preferensi atau dukungan tambahan kepada kelompok yang kurang terwakili.
Namun, langkah tersebut berbeda dengan kesalahpahaman bahwa DEI adalah kuota untuk kelompok minoritas, karena DEI kerap melibatkan pendekatan yang lebih holistik dengan mempertimbangkan latar belakang dan pengalaman pelamar.
DEI sejalan dengan kebijakan pemerintahan AS yang kerap mempromosikan cita-cita demokrasi, HAM, dan kesetaraan secara global, karena isi dari program DEI sedikit banyak mencerminkan nilai-nilai tersebut. Dengan berfokus pada keberagaman, kesetaraan, dan inklusi secara domestik, serta mendukung upaya serupa di luar negeri, AS dapat meningkatkan reputasi globalnya sebagai masyarakat yang progresif dan inklusif.
Untuk itu, inisiatif DEI juga sebenarnya dapat dianggap sebagai bagian dari kekuatan daya halus AS, meskipun dalam bentuk pengaruh yang lebih tidak langsung dibandingkan dengan mekanisme tradisional lainnya seperti bantuan luar negeri dan diplomasi. Pembatalan kontrak kerja yang terkait dengan program DEI juga sedikit banyak juga akan berpengaruh kepada potensi daya halus yang dimiliki AS.
Dampak penutupan program DEI berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap citra internasional AS, antara lain adanya persepsi global bahwa AS inkonsisten sebagai model nilai-nilai progresif, khususnya seputar HAM dan kesetaraan. Selain itu, dengan menunjukkan sikap anti-DEI juga akan dapat melemahkan otoritas moral AS dalam isu-isu seperti hak-hak sipil dan demokrasi, terutama di negara-negara yang mendukung inisiatif DEI, yang banyak di antaranya adalah sekutu AS, terutama di negara-negara Eropa.
Tidak hanya persoalan sehubungan USAID dan DEI, Elon Musk juga mendapat sorotan dari sejumlah tokoh oposisi dari Partai Demokrat AS seperti Senator Elizabeth Warren yang telah menyuarakan kekhawatiran atas Musk dan stafnya yang memaksa masuk ke sistem pembayaran pemerintah federal AS. Pasalnya, sistem itu bersifat sensitif karena menyangkut informasi data pribadi jutaan warga AS.
Warren memperingatkan bahwa sistem yang memastikan berbagai hal seperti cek Jaminan Sosial dan pembayaran Medicare (semacam BPJS Kesehatan di AS) telah diambil alih oleh Musk.
"Elon baru saja mengambil kendali seluruh sistem pembayaran itu, menuntut kekuasaan untuk menyalakannya bagi teman-temannya atau mematikannya untuk siapa pun yang tidak dia sukai. Seorang laki-laki memutuskan siapa yang dibayar dan siapa yang tidak. Itu bukan hukumnya, tapi itulah kenyataannya," papar Warren.
Bukan hanya terkait dengan pembayaran dari pemerintah federal yang berada dalam kendali Elon Musk, Warren juga memperingatkan bahwa miliarder itu kini memiliki akses penuh kepada berbagai informasi keuangan pribadi warga AS, sehingga berpotensi untuk menyalahgunakan semua informasi itu, baik untuk meningkatkan keuangannya atau memperluas kuasa politiknya.
Senada dengan Warren, sejumlah kritik terhadap berbagai langkah kontroversi Musk menyatatakan bahwa perusahaan milik Musk seperti SpaceX, yang telah menerima miliaran dolar hasil kontrak dengan pemerintah AS, juga ke depannya bisa terlibat dalam sejumlah proyek melalui DOGE yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan bisnis pribadi sang miliarder.
Keuntungan finansial strategis
Profesor Politik dan Ekonomi Intenasional di Middlebury College Vermont, AS, Allison Stanger dalam artikel di laman media nirlaba The Conversation berpendapat bahwa motivasi mendalam yang mendorong keterlibatan Musk dalam pemerintah AS sepertinya tidak sepenuhnya bersifat altruistik, tetapi harus dilihat dari aspek kerajaan bisnisnya yang sangat besar.
Stanger mengingatkan berbagai pihak bahwa dengan akses ke sistem pemerintahan AS yang sensitif hingga masih ketidakjelasannya peran DOGE hingga saat ini, telah membuat Musk mendapatkan keuntungan finansial dan strategis yang belum pernah terjadi sebelumnya baik untuk dirinya sendiri maupun perusahaannya, termasuk Tesla dan SpaceX.
Pakar politik ekonomi AS itu menyatakan, dalam peran barunya di pemerintahan Trump, Musk dinilai dapat membongkar kinerja berbagai lembaga pemerintah yang selama ini membatasi bisnisnya, sehingga DOGE dapat menjadi wahana untuk melemahkan semua mekanisme pengawasan yang selama ini dilakukan AS terhadap bisnis Musk, dengan dalih berkedok kebijakan "efisiensi" atau penghematan anggaran.
Stanger menyatakan, aspek yang paling buruk dari kepemimpinan Musk di DOGE adalah aksesnya terhadap berbagai data yang dimiliki pemerintah AS, yang mencakup informasi rekening bank, nomor Jaminan Sosial, dan dokumen pajak penghasilan. Para staf Musk juga disebut memiliki kemampuan untuk mengubah perangkat lunak, data, transaksi, dan catatan sistem terhadap berbagai salinan informasi pribadi paling sensitif di AS itu.
Menurut Stanger, semua hal itu bukan spekulasi tetapi dampak pemikiran logis dari otoritas DOGE yang dikombinasikan dengan perilaku Musk selama ini. Bahkan, berbagai kritikus menyamakan langkah Musk dengan kudeta besar-besaran dari pihak korporasi.
Memang masih belum jelas bagaimana ke depannya gegap gempita kontroversi kebijakan "efisiensi/penghematan" yang dilakukan Musk. Namun, kekuatan daya halus yang dimiliki oleh AS di mata para sekutunya berpotensi dapat dipastikan akan terus memudar dan kerja sama tingkat global AS juga akan dipertanyakan.
Bila kekuatan daya halus Paman Sam melemah, maka sejumlah pihak yang akan paling diuntungkan adalah China yang selama ini telah memposisikan dirinya sebagai pemimpin global dalam perdagangan, infrastruktur, dan investasi.
Sementara itu, Uni Eropa dinilai dapat mengisi kekosongan diplomatik dan HAM yang selama ini diarahkan oleh AS, sementara Rusia dapat meningkatkan manuver geopolitiknya.
Sedangkan, Negara-negara Selatan Global kemungkinan akan lebih mengandalkan China atau kekuatan regional untuk mendapatkan dukungan. Tidak hanya para negara, para aktor non-negara seperti sejumlah raksasa teknologi hingga LSM yang kuat di tingkat internasional dapat pula ke depannya menjadi lebih berpengaruh dalam membentuk budaya dan kebijakan global.
Dengan demikian, hilangnya kekuatan daya halus AS kemungkinan akan mengarah pada terciptanya dunia multipolar di mana tidak ada satu negara pun yang memiliki pengaruh dominan seperti AS pada abad ke-20 lalu. Namun berbagai poros kekuatan, yang masing-masing memiliki prioritasnya sendiri, akan bersaing untuk membentuk norma dan institusi global.
Copyright © ANTARA 2025