Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017–2022 Arief Budiman mengaku tidak mengetahui maksud tersangka Harun Masiku datang ke Kantor KPU pada tahun 2019 dengan membawa foto Harun bersama Ketua DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan foto Harun bersama mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Hatta Ali.
Sebab, menurutnya, hal tersebut biasa saja lantaran dirinya juga tidak membawa, menerima, maupun mengoleksi barang-barang seperti foto itu.
"Saya tidak tahu maksud Pak Harun menunjukkan foto itu apa. Tapi ruangan saya memang selalu terbuka dan saya bisa menerima siapa pun tamu-tamu yang datang, baik teman-teman dari daerah, partai politik, anggota DPR, itu biasa saja masuk," tutur Arief saat menjadi saksi dalam sidang pemeriksaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.
Ia menjelaskan kejadian itu terjadi sekitar bulan September 2019, setelah adanya pelaksanaan rapat pleno terbuka untuk penetapan perolehan kursi dan calon terpilih pada 31 Agustus 2019.
Kala itu, Harun menemui Arief di ruang rapat atau ruang tamu Ketua KPU. Harun disebutkan langsung datang ke Kantor KPU tanpa membuat janji sebelumnya.
Arief menuturkan bahwa saat itu Harun datang bersama rekannya yang tidak dikenal. Namun setelah itu, keduanya memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan untuk meminta tolong agar permohonan yang secara formal telah disampaikan PDIP melalui surat nomor 2576/X/DPP/VIII/2019 kepada KPU dapat dibantu untuk direalisasikan.
Pada pokoknya, surat permohonan tersebut menyatakan bahwa berdasarkan Putusan MA Nomor 57P-HUM/2019, perolehan suara dari calon yang telah meninggal dunia atas nama Nazaruddin Kiemas dengan nomor urut 1 Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I dialihkan kepada calon atas nama Harun Masiku dengan nomor urut 6 Dapil Sumsel I.
Pada waktu itu, sambung dia, Harun datang dengan membawa berkas dokumen, di antaranya Putusan MA Nomor 57 tanggal 19 Juni 2019, yang menyatakan bahwa dengan penetapan surat suara calon legislatif yang meninggal dunia, kewenangannya diserahkan kepada pimpinan partai politik untuk diberikan kepada calon legislatif yang dinilai terbaik.
Selain itu, dalam dokumen dikatakan ada pula beberapa foto yang disertakan, antara lain merupakan foto Harun bersama Megawati serta foto Harun bersama Hatta Ali.
"Saya tidak tahu maksudnya apa mengenai foto, tapi untuk hal-hal yang bersifat formal seperti itu biasanya saya minta kirimkan saja suratnya secara resmi ke kantor," tuturnya.
Arief bersaksi dalam sidang kasus dugaan perintangan penyidikan perkara korupsi tersangka Harun Masiku dan pemberian suap yang menyeret Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto sebagai terdakwa.
Dalam kasus itu, Hasto didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi, yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka pada rentang waktu 2019-2024.
Sekjen DPP PDIP tersebut diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Anggota KPU periode 2017-2022 Wahyu Setiawan.
Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku telah memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu pada rentang waktu 2019-2020.
Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) calon legislatif terpilih asal Dapil Sumsel I atas nama anggota DPR periode 2019—2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025