Washington (ANTARA) - Produk Domestik Bruto (PDB) Amerika Serikat (AS) menyusut pada tingkat tahunan sebesar 0,3 persen pada kuartal pertama (Q1) tahun ini, di tengah kebijakan tarif baru yang meningkatkan ketidakpastian dan melemahkan kepercayaan.
Angka terbaru itu menyusul pertumbuhan PDB sebesar 2,4 persen pada kuartal keempat (Q4) 2024, menurut Biro Analisis Ekonomi (Bureau of Economic Analysis/BEA) AS.
Dalam perkiraan awal, laporan tersebut menyebutkan bahwa penurunan PDB riil pada Q1 tersebut terutama merefleksikan peningkatan impor, yang merupakan pengurang dalam perhitungan PDB, serta penurunan belanja pemerintah. Pergerakan-pergerakan itu sebagian diimbangi oleh peningkatan investasi, belanja konsumen, dan ekspor.
Ekspor neto mengurangi 4,83 poin persentase dari PDB, angka tertinggi dalam catatan, menurut laporan itu, mengindikasikan upaya yang dilakukan banyak perusahaan untuk menimbun stok di tengah kekhawatiran akan tarif yang lebih tinggi di masa depan.
Belanja konsumen, yang menyumbang dua pertiga dari PDB, tumbuh pada laju 1,8 persen, jauh lebih lambat dibandingkan 4,0 persen pada Q4 2024. Belanja konsumen menyumbang 1,21 poin persentase terhadap PDB pada Q1.
Belanja pemerintah federal menyusut sebesar 5,1 persen, mengurangi 0,33 poin persentase dari PDB pada Q1.
Risiko Resesi
"Ekonomi AS saat ini menghadapi risiko resesi yang lebih besar dibandingkan sebulan lalu, tetapi, kontraksi sebesar 0,3 persen pada PDB Q1 ini bukanlah awal dari resesi," tulis para ekonom Wells Fargo dalam sebuah analisis.
"Ini mencerminkan perubahan mendadak dalam kebijakan perdagangan yang berujung pada penurunan terbesar dari ekspor neto dalam data yang tercatat selama lebih dari setengah abad terakhir," kata mereka.
Namun, beberapa ekonom bersikap lebih pesimistis mengenai prospek resesi, dengan mengacu pada kebijakan tarif luas yang diterapkan pemerintahan Trump kepada banyak mitra dagang.
Presiden di Peterson Institute for International Economics (PIIE) Adam Posen baru-baru ini menempatkan risiko resesi AS sebesar 65 persen, dengan menyoroti ketidakpastian kebijakan AS.
"Saya memperkirakan sentimen konsumen yang suram dan ketidakpastian dunia usaha akan membebani kinerja kuartal kedua (Q2)," kata peneliti senior nonresiden di PIIE Gary Clyde Hufbauer kepada Xinhua, seraya menambahkan bahwa dia memprediksi resesi akan terjadi pada paruh kedua tahun ini.
The Kobeissi Letter, sebuah publikasi finansial, menyebut bahwa pertumbuhan PDB awal pada Q1 tercatat negatif 0,3 persen, jauh di bawah ekspektasi 0,3 persen.
"Ini menandai angka PDB negatif terendah dan pertama sejak Q2 2022. Kontraksi PDB di AS telah dimulai. Berbagai indikator kini menunjukkan bahwa resesi menjadi skenario dasar pada 2025," menurut The Kobeissi Letter.
100 hari pemerintahan Trump
Mantan menteri keuangan AS Lawrence Summers, yang juga profesor di Universitas Harvard, mengecam kebijakan ekonomi pemerintahan saat ini.
"Ini mungkin menjadi seratus hari pertama paling tidak sukses dalam pemerintahan presiden @realDonaldTrump di sektor ekonomi dalam satu abad terakhir," tulis Summers dalam sebuah unggahan di platform media sosial X.
"Kita menyaksikan pasar saham turun, nilai dolar turun, proyeksi pengangguran naik, proyeksi inflasi naik, kemungkinan resesi meningkat. Kita melihat kepercayaan konsumen runtuh. Kita melihat perusahaan-perusahaan menarik kembali seluruh proyeksi pendapatan sebelumnya. Jadi, ini adalah seratus hari yang menimbulkan petaka bagi ekonomi AS," ujar Summers.
Peneliti senior di Brookings Institution Darell West mengatakan kepada Xinhua bahwa penurunan PDB Q1 merupakan "kabar buruk" bagi Trump.
"Trump mengatakan kepada para pemilih bahwa dia akan hebat dalam mengelola ekonomi, tetapi, kenyataannya tidak demikian. Dia mewarisi ekonomi yang kuat dari Biden dan menghancurkannya melalui kebijakan yang salah arah. Jika angka Q2 kembali negatif, maka ini akan dikenal sebagai resesi Trump," kata West.
Penerjemah: Xinhua
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2025