Ekonom waspadai dampak penambahan impor AS pada emiten manufaktur RI

1 day ago 6

Jakarta (ANTARA) - Ekonom Mirae Asset Rully Arya Wisnubroto menilai, rencana Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan impor dari AS senilai 18-19 miliar dolar AS cukup berisiko menekan emiten manufaktur domestik.

Sebab, bagian dari 'menu' negosiasi tersebut bakal berdampak langsung pada neraca perdagangan serta industri manufaktur nasional.

“Kalau (impor) misalkan meningkat sampai 18 miliar dolar AS, ya pertama pasti impact-nya akan ada kepada trade balance kita. Jadi bisa dari tadinya surplus jadi ke defisit dan mungkin memang ini ada impact juga kepada produsen-produsen di dalam negeri terutama ya,” ujar Head of Research & Chief Economist Mirae Asset itu dalam Media Day: April 2025 di Jakarta, Kamis.

Ia menjelaskan, meski Indonesia tidak terlalu banyak mengimpor produk otomotif dari AS karena selama ini lebih banyak bergantung pada China, namun sektor manufaktur berbasis bahan kimia dan bahan baku diperkirakan akan paling terdampak.

Tak hanya dari sisi peningkatan impor AS, Rully juga mengingatkan ancaman banjir barang dari China ke pasar Indonesia seiring tertutupnya akses ekspor China ke AS akibat perang tarif.

Kondisi ini bisa memperparah tekanan terhadap industri manufaktur dalam negeri.

“Ketika China itu ekspornya tertutup ke AS, itu (ekspor) akan beralih ke Indonesia sepertinya. Jadi saya rasa manufaktur itu sih yang harus diperhatikan impact-nya,” ujarnya.

Selain soal impor, negosiasi antara pemerintah Indonesia dan AS juga menyentuh soal pelonggaran aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang selama ini menjadi syarat dalam impor, termasuk di sektor teknologi dan industri manufaktur.

Rully juga mewanti-wanti relaksasi TKDN yang dapat berdampak negatif terhadap pemasok lokal, terutama produsen komponen skala menengah dan kecil.

“Kalau TKDN sendiri itu mungkin impact-nya akan mengganggu supplier manufaktur dari Indonesia sebenarnya ya. Kalau emiten-emiten besar itu juga saya rasa beberapa mungkin kalau misalnya di otomotif mungkin enggak akan banyak. Mungkin dari sisi produsen untuk barang-barang komponen-komponennya itu yang mungkin akan bisa terdampak,” katanya.

Adapun Pemerintah Indonesia mengirimkan delegasi ke Washington D.C., AS, yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, didampingi Menteri Luar Negeri Sugiono, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, beserta jajaran menteri dan kepala lembaga lain.

Delegasi membawa beberapa usulan utama, termasuk revitalisasi perjanjian Trade & Investment Framework Agreement (TIFA), pelonggaran Non-Tariff Measures (NTMs), hingga peningkatan impor migas dari AS.

Pemerintah juga menyiapkan berbagai insentif fiskal dan non-fiskal guna menjaga daya saing ekspor nasional, seperti penurunan bea masuk, PPh impor, dan PPN impor.

Meski begitu, Rully menilai posisi Indonesia dalam perundingan tidak sekuat negara-negara besar seperti China atau Uni Eropa.

“Kemudian yang negosiasi memang harapannya akan ada deal. Jadi memang sayangnya posisi Indonesia itu salah satu yang mungkin tidak terlalu kuat, beda dengan China atau mungkin dengan Eropa. Mereka mungkin bisa melakukan retaliasi,” ungkap dia.

Baca juga: Wamendag: I-EU CEPAjadi solusi strategis di tengah situasi global

Baca juga: Ekonom: Emas jadi "safe haven" andalan karena akses yang lebih mudah

Baca juga: Mirae Asset sarankan opsi reksa dana pasar uang "sameday redeem"

​​​​​​​

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |