Jakarta (ANTARA) - Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyoroti pentingnya solusi untuk meningkatkan permintaan kredit, agar kebijakan penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) berjalan efektif.
“Sepanjang isu permintaan (kredit) tidak dicarikan solusi, dunia usaha tidak akan ekspansif. Sehingga menggelontorkan likuiditas perbankan tidak akan membantu,” kata Wijayanto, di Jakarta, Senin.
Sebagaimana diketahui, terjadi perlambatan pertumbuhan kredit yang terjadi belakangan ini.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, penyaluran kredit nasional tetap tumbuh pada Juli 2025 sebesar 7,03 persen secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp8.043,2 triliun. Namun, pertumbuhan tersebut melambat dari 7,77 persen pada Juni, sekaligus menjadi laju paling rendah sejak Maret 2022.
Perlambatan itu turut mencerminkan pelemahan daya beli masyarakat, serta meningkatnya kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit. Di sisi lain, undisbursed loan atau kredit yang belum terealisasi justru naik 9,52 persen, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahun lalu sebesar 6,89 persen.
Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah menandatangani kebijakan penempatan dana pemerintah Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke lima bank anggota Himbara.
Rinciannya, Bank Mandiri, BRI, dan BNI masing-masing mendapat Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, dan BSI Rp10 triliun.
Dana tersebut bukan bersumber dari dana darurat, melainkan sisa anggaran pemerintah yang belum dibelanjakan dan sebelumnya ditempatkan di bank sentral. Dengan menempatkannya di bank komersial, dana ini diharapkan dapat diakses untuk pembiayaan kredit di sektor produktif.
Namun, menurut Wijayanto, penyaluran dana pemerintah itu sebaiknya difokuskan pada sektor-sektor yang terbukti mampu mendorong perekonomian.
“Dana Rp200 triliun sebaiknya untuk mendanai sektor-sektor yang sudah teruji menciptakan lapangan kerja dan (meningkatkan) daya beli,” katanya pula.
Meski demikian, dirinya memandang kebijakan tersebut tetap tidak bisa berdiri sendiri.
"Kebijakan ini tidak bisa berjalan sendiri, harus diikuti dengan perbaikan iklim usaha dan perbaikan daya beli. Jika berjalan sendiri, kebijakan ini justru akan membebani sektor perbankan dengan risiko yang tidak perlu," ujarnya.
Di samping itu, penarikan Rp200 triliun dari Sisa Anggaran Lebih (SAL) di Bank Indonesia juga bisa berpotensi menggerus cadangan fiskal pemerintah.
"Menarik Rp200 triliun dari SAL di BI, mengurangi outstanding SAL menjadi Rp250 triliun. Jika kondisi fiskal terus memburuk di 2025 dan 2026; ia tidak akan memadai untuk memberi talangan bagi belanja APBN saat penerimaan pajak terlambat masuk," ujarnya lagi.
Baca juga: OJK tetap awasi efektivitas pengelolaan dana pemerintah di lima bank
Baca juga: BNI optimalkan dana pemerintah Rp55 triliun untuk kredit produktif
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.