Bandung (ANTARA) - Duta Besar Indonesia untuk Kenya, merangkap Uganda, Republik Demokratik Kongo, dan Somalia, Mohamad Hery Saripudin meminta negara untuk lebih fokus pada Afrika khususnya bagian Timur, mengingat potensi yang dimiliki benua tersebut dan peluang besar ke depannya.
Hery dalam Forum Debriefing Kepala Perwakilan RI bertema Diplomasi Ekonomi dan Sosial Budaya Indonesia di Kawasan Afrika yang digelar Kemlu dan Unpad secara daring, Senin mengungkapkan, dari kekayaan alam, Afrika memiliki sumber daya alam yang sangat kaya, di mana deposit mineral benua itu sekitar 30 persen dari deposit dunia, untuk cadangan minyak 12 persen dari seluruh dunia, gas alam 12 persen, emas 40 persen, kromium dan platinum 90 persen, belum lagi berlian, Chopper, kobalt, uranium dan sebagainya yang melimpah.
Dari sisi penduduk, dari 54 negara di Afrika, secara total kira-kira berjumlah 1,5 miliar orang, dengan 70 persennya adalah usia produktif di bawah 30 tahun yang mengartikan benua ini merupakan benua muda dengan tenaga kerja yang cukup melimpah.
"Artinya Afrika adalah benua masa datang atau the next Frontier of World Economic Prosperity dan ini sudah dilihat China," katanya.
Kebijakan Indonesia pada Afrika dalam 10 tahun ini, dan dia meyakini sekarang masih tetap sama, bahwa Afrika menjadi salah satu prioritas dalam pelaksanaan diplomasi ekonomi.
Baca juga: Alkes RI tarik minat pasar Afrika, potensi ekspor capai Rp55 miliar
"Namun demikian, sayangnya dalam implementasinya terkesan dan terasa masih jauh panggang dari api," kata Hery.
Terkesan demikian, lanjut Hery, pertama karena setelah lebih dari 40 tahun baru satu Presiden Indonesia yang melakukan kunjungan ke Kenya. Yang selanjutnya, diplomasi multilateral untuk kawasan tersebut dirasa masih kurang yang disebutnya tercermin dari proses negosiasi bilateral non FTA yang terbentur proses birokrasi termasuk di badan regional East Africa Community (EAC), serta juga pada diplomasi di Nairobi (Nairobi Process).
"Nairobi Process masih kurang mendapat perhatian, dibanding diplomasi multilateral yang berproses di beberapa tempat lain seperti New York Process, Geneve Process, atau Vienna Process," katanya.
Padahal di kawasan ini banyak isu strategis yang masih memungkinkan dikembangkan lebih jauh. Kemudian saya menekankan dalam empat tahun ini perlunya ada IPTC atau ATDAG sebagai perwakilan dagang di kawasan itu, saya tidak tahu mentoknya di mana selama ini, sementara di Barat dan Selatan telah ada. Ini saya pikir perlu ada," ucapnya.
Baca juga: Indonesia gali potensi kerja sama baterai untuk EV dengan Afrika
Permasalahan lainnya yang ditemui, kata Hery, adalah penganggaran di mana kedutaan diminta bersiap untuk misi dagang khusus untuk promosi, tapi tiba-tiba diminta dihentikan.
Kemudian, lanjut dia, masalah diplomat junior yang berkinerja baik, sangat kecil kemungkinannya ditempatkan di Afrika ketimbang benua lainnya.
Padahal, tanpa berniat mengecilkan yang saat ini ada, menurut Hery benua ini adalah "rimba raya" yang perlu digarap secara serius sehingga diperlukan orang-orang yang mumpuni untuk menggarap.
"Tampaknya perlu ada evaluasi, bukankah ketika mendaftar ASN harus mau ditempatkan di mana saja. Tapi memang mungkin budayanya sendiri termasuk di pimpinannya ada kesan rasa kegagalan kalau ditempatkan di Afrika, saya mohon maaf bisa saja saya keliru tapi itu yang saya rasakan," katanya.
Hal-hal tersebut, kata Hery, tak jarang membuat persepsi dari banyak pengusaha Indonesia yang berpotensi meluaskan usahanya ke Afrika jadi kurang bersemangat.
"Apalagi pengusaha Indonesia, mereka berpandangan dan menyaksikan belum ada komitmen politik dari kita termasuk pimpinan, baik presiden maupun Menlu berulang kali menegaskan, namun implementasinya demikian," ucap dia.
Baca juga: Indonesia gali potensi kerja sama baterai untuk EV dengan Afrika
Sebagai solusi jangka pendek, Hery merekomendasikan agar Presiden Prabowo Subianto, Menlu Sugiono, dan pejabat negara lainnya dalam waktu dekat diharapkan bisa mengunjungi Afrika secara lebih luas.
"Kita telah memiliki modal, dengan adanya Bandung Spirit (yang digaungkan dalam Konferensi Asia Afrika) yang tahun ini sudah berusia 70 tahun. Karenanya kami harap dalam waktu dekat pak Presiden dan pak Menlu dalam waktu dekat bisa berkunjung. Dan juga saya mohon program beasiswa kiranya perlu terus dilaksanakan ditingkatkan yang bisa mempererat hubungan diplomatik kita," ujarnya.
Sementara Dosen Hubungan Internasional FISIP Unpad Siti Aliyuna Pratisti mengungkapkan, hubungan Indonesia dengan negara-negara Afrika sudah panjang seperti dengan Kenya (45 tahun), dan Zimbabwe (38 tahun). Indonesia sebagai Global South mempengaruhi secara signifikan arah diplomasi ekonomi di kawasan Afrika.
"Dengan modal tersebut Indonesia berperan aktif untuk membangun kemitraan yang berkeadilan baik secara bilateral, multilateral, dalam salah satu platform yang kita kenal dengan kerja sama selatan-selatan," ucapnya.
Untuk kawasan Afrika Timur umumnya, menurut Siti, menjadi mitra strategis bagi Indonesia, khususnya Kenya yang memiliki pelabuhan sebagai pusat logistik dan perdagangan di kawasan tersebut.
"Tapi memang ada tantangan dari poros besar yang bermain di Afrika, seperti yang tadi disinggung pak Dubes Hery, China bisa menjadi pesaing, tapi juga bisa jadi mitra seperti di Zimbabwe dan Zambia. Karenanya strategi diplomasi ekonomi Indonesia harus melampaui sisi practical yang ditawarkan pemain lainnya. Kita bisa menekankan pendekatan berbasis nilai yang berkelanjutan, bukan hanya profit dan kepentingan jangka pendek ini yang bisa membedakan Indonesia dibanding lainnya," ucap dia.
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2025