Beijing (ANTARA) - Konferensi Asia Afrika (KAA) dinilai menjadi inspirasi kuat terciptanya kerja sama pembangunan negara-negara Selatan Selatan atau lazim disebut sebagai negara berkembang.
"70 tahun yang lalu di Bandung, sejarah tercipta. Saat ini, 29 negara yang bertemu di Bandung pada 1955 mewakili lebih dari separuh populasi dunia dan hampir sepertiga ekonomi global. Kita perlu melihat lebih banyak kerja sama Selatan-Selatan yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat," kata Duta Besar RI untuk Tiongkok dan Mongolia Djauhari Oratmangun di Beijing pada Kamis (17/4).
Dubes Djauhari menyampaikan hal tersebut dalam diskusi "The Global South: Carrying Forward the Bandung Spirit and Marching Together toward Modernization" yang digagas oleh "Chinese People's Institute of Foreign Affairs" (CPIFA) dan KBRI Beijing dan juga dihadiri sejumlah diplomat dari Liberia, Turki, Sudan, Jepang, Ethiopia, Jordan, India, Syria dan Ghana.
KAA diselenggarakan pada 18-24 April 1955 di Bandung, Jawa Barat. Tahun ini menandai peringatan 70 tahun sejak konferensi internasional tersebut berlangsung.
KAA 1955 menghasilkan sepuluh pernyataan prinsip-prinsip dasar yang dikenal sebagai Dasasila Bandung atau "Bandung Principles" yang kemudian menjadi semangat bagi negara-negara Asia dan Afrika menyelesaikan masalah kolonialisme.
"KAA tidak hanya menginspirasi sebagai kebijakan, tetapi juga sebagai kemajuan yang dirasakan di lapangan. Kita memerlukan lebih banyak proyek yang berhasil dan dapat ditiru yang menginspirasi dan memberdayakan lintas batas," tambah Dubes Djauhari.
Negara Selatan-Selatan, ungkap Dubes Djauhari harus memastikan bahwa dividen pembangunan tidak berhenti di perbatasan negara masing-masing, tetapi menyebar ke luar untuk membantu negara lain, termasuk dengan membuka model pembiayaan alternatif yang memungkinkan pembangunan berkelanjutan, untuk semua.
"Tahun lalu, Indonesia juga menjadi tuan rumah Forum Indonesia-Afrika dengan tema 'Semangat Bandung untuk Visi Afrika 2063'. Pendekatannya adalah menempatkan Afrika di kursi pengemudi perjalanan pembangunannya sendiri," ungkap Dubes Djauhari.
Forum tersebut pun telah menghasilkan perjanjian kerja sama lebih dari 3,5 miliar dolar AS.
"KAA bukan sekadar pertemuan. KAA adalah sebuah janji bahwa bahwa tidak ada bangsa yang akan tertinggal, termasuk rakyat Palestina, yang telah lama menantikan keadilan, kedaulatan, dan tempat yang mereka sebut milik mereka sendiri," tegas Dubes Djauhari.
Sedangkan Presiden CPIFA, mantan Menteri Luar Negeri China Wang Chao mengatakan kerja sama pembangunan yang diusulkan CHina mencakup enam usulan modernisasi yaitu modernisasi yang adil, saling menguntungkan, mengutamakan rakyat, plualistik, ramah lingkungan dan damai.
"Enam usulan ini akan memimpin negara Selatan-Selatan untuk mempercepat modernisasi. Negara Selatan-Selatan masih perlu meneruskan semangat Bandung berupa solidaritas, persahabatan, dan kerja sama serta melangkah maju menuju modernisasi bersama," kata Wang Chao.
Solidaritas dan saling membantu, ungkap Wang Chao, merupakan tradisi baik dan menjadi dasar penting bagi pembangunan dan pertumbuhan berkelanjutan negara Selatan-Selatan.
"Terinspirasi oleh Semangat Bandung, negara-negara Asia dan Afrika, pembangunan adalah tugas mendesak yang dihadapi oleh negara Selatan-Selatan dan masalah penting yang perlu ditangani oleh dunia. Kita perlu bersatu dan memperdalam kerja sama di berbagai bidang," tambah Wang Chao.
Ia juga mengajak negara Selatan-Selatan untuk bersama-sama menciptakan lingkungan eksternal yang lebih adil dan masuk akal untuk pembangunan serta menolak politisasi ekonomi dan perdagangan, eksklusivitas dan menentang penghancuran sistem perdagangan global dengan kepentingan pribadi.
Sementaran Duta Besar RI untuk China periode 2010-2013 Imron Cotan dalam acara yang mengatakan China adalah mitra dagang terbesar Afrika.
"Sudah waktunya bagi kita untuk bersatu menuju kerja sama benua-benua, alih-alih berfokus pada hubungan China dan negara-negara Afrika, bagaimana kita menemukan cara terbaik sebagai benua dengan benua yaitu Asia dan Afrika, untuk bergerak maju bersama," kata Dubes Cotan.
Tujuannya adalah untuk mentransformasi dari KAA 1.0 menjadi apa yang ia sebut sebagai KAA 2.0, di mana kerja sama ekonomi, termasuk perdagangan dan investasi, dianggap penting, berdasarkan kepentingan bersama.
"Dalam kaitan itu, saya ingin menggarisbawahi bahwa tarif yang sebenarnya, diterapkan oleh Amerika Serikat telah menciptakan momentum bagi kita untuk bergerak maju secara serempak untuk melanjutkan Asia dan Afrika guna mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh penerapan tarif timbal balik yang diterapkan oleh AS," tambah Dubes Cotan.
Asia dan Afrika, ungkap Dubes Cotan, adalah dua benua yang bisa menjadi alternatif yang bebas dari unilateralisme yang diberlakukan oleh AS.
"Saya ingin mengusulkan apa yang saya sebut sebagai inisiatif kebijakan yang bebas dari unilateralisme AS. Ada urgensi bagi kita untuk membangun apa yang kita sebut koridor ekonomi Asia-Afrika dan nantinya akan menciptakan kerangka investasi, yang dibangun di atas kerja sama ASEAN, China dan African Union," jelas Dubes Cotan.
Baca juga: Relevansi Dasasila Bandung dan rekonstruksi tatanan dunia
Baca juga: Dubes: Ethiopia selalu berupaya terapkan Dasasila Bandung di Afrika
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Arie Novarina
Copyright © ANTARA 2025