Mataram (ANTARA) - Saat matahari terbenam di pesisir barat Pulau Lombok, cahaya jingga menyapu riak laut, memantulkan bayangan masa depan yang masih terbentang. Di ujung selatan Pulau Sumbawa, angin membawa debu kering dari padang savana dan laut yang tenang, menampilkan dua wajah yang berlawanan tapi saling melengkapi.
Dua wajah itu adalah potret Nusa Tenggara Barat (NTB) yang kini berdiri di persimpangan penting, sebuah titik penentu yang menguji arah pembangunan. Di hadapannya terbentang dua pilihan yang sama menantang.
Satu sisi menggoda untuk terus berlari mengejar angka pertumbuhan ekonomi jangka pendek, sementara sisi lainnya mengajak untuk mulai menapaki jalur pembangunan yang berkelanjutan, adil, dan berpijak pada kekayaan lokalnya.
Dari ruang diskusi para akademisi di Bima-Dompu, muncul gagasan baru, yakni menjadikan Lombok sebagai “Eco City and Resilient Island” dan Sumbawa sebagai “Sustainable Economic Zone”. Sebuah ide yang bisa menjadi tonggak baru pembangunan NTB jika benar-benar diterjemahkan ke dalam kebijakan yang cermat dan membumi.
NTB selama ini dikenal sebagai salah satu wilayah di Indonesia Timur dengan potensi ekonomi yang terus tumbuh. Lombok telah menancapkan diri sebagai destinasi pariwisata internasional, sementara Sumbawa dikenal dengan kekayaan sumber daya alam dan sektor pertaniannya.
Namun di balik geliat itu, muncul tantangan klasik, yakni kerusakan lingkungan, ketimpangan antarwilayah, serta lemahnya infrastruktur dasar di beberapa kabupaten.
Dalam konteks inilah, gagasan diferensiasi pembangunan menjadi relevan. Lombok memiliki modal kuat berupa infrastruktur pariwisata kelas dunia, jaringan energi terbarukan yang mulai berkembang, serta posisi strategis sebagai simpul konektivitas NTB.
Sedangkan Sumbawa memiliki karakter agraris dan maritim yang kuat, dengan potensi industri pengolahan hasil bumi dan pariwisata alam yang belum tergarap maksimal.
Maka, kebijakan “satu pola untuk semua” justru bisa kontraproduktif. Pembangunan yang seragam hanya akan memperlebar kesenjangan dan membuat satu wilayah maju terlalu cepat, sementara wilayah lain tertinggal jauh di belakang.
Baca juga: Menata ulang reklamasi di pulau-pulau kecil
Kebijakan
Bagi Lombok, konsep Eco City bukan sekadar jargon hijau. Ia bisa diwujudkan melalui tata kota yang ramah lingkungan, transportasi publik rendah emisi, pemanfaatan energi matahari dan angin, serta pengelolaan sampah berbasis sirkular ekonomi.
Pariwisata yang menjadi andalan pun perlu dikembangkan dengan prinsip “low impact tourism”, yang mengutamakan keseimbangan antara daya tarik wisata dan daya dukung alam.
Sementara di Sumbawa, arah Sustainable Zone berarti memaksimalkan potensi ekonomi lokal tanpa mengorbankan lingkungan. Ini bisa berupa industrialisasi ringan berbasis hasil pertanian dan perikanan, pemanfaatan teknologi agritech, serta pengembangan wisata alternatif seperti ekowisata, wisata budaya, atau wisata petualangan.
Baca juga: Gudang jagung, harapan baru dari tanah timur
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































