Jakarta (ANTARA) - Diplomasi dagang dalam menurunkan tarif ekspor-impor antara Indonesia dan Amerika Serikat belakangan ini menjadi diskusi menarik di kalangan publik.
Dalam unggahan media sosial Presiden Donald Trump pada Rabu pagi waktu Indonesia, disampaikan bahwa barang dari Indonesia dikenai tarif 19 persen, sedangkan barang dari Amerika Serikat masuk ke Indonesia tanpa dikenakan tarif sama sekali.
Pernyataan ini sudah tentu memicu beragam reaksi, mulai dari apresiasi atas keberanian bernegosiasi, hingga kekhawatiran mendalam terhadap arah kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia.
Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr. Syahganda Nainggolan, menyampaikan apresiasinya atas langkah Presiden Prabowo.
Namun, apresiasi tersebut tidak serta-merta mengaburkan analisis kritis yang menunjukkan bahwa struktur tarif ini jauh dari prinsip perdagangan bebas yang adil dan seimbang.
Justru di sinilah letak permasalahan bahwa ada ketimpangan dalam relasi dagang antara dua negara yang semestinya berupaya menciptakan hubungan yang saling menguntungkan, bukan justru memperkuat ketergantungan dan kerentanan.
Perlu dicermati bahwa sebelum adanya pengumuman tersebut, Indonesia disebut-sebut dikenakan tarif baseline sebesar 10 persen seperti negara lainnya.
Dengan tarif baru sebesar 19 persen, artinya terjadi lonjakan beban tarif ekspor Indonesia sebesar 9 persen, sehingga bukan merupakan pengurangan melainkan peningkatan hambatan.
Di sisi lain, produk Amerika justru diberikan karpet merah untuk masuk ke pasar Indonesia dengan tarif nol persen.
Ini menandakan adanya ketimpangan serius yang tidak hanya merugikan secara fiskal, tetapi juga menciptakan distorsi dalam struktur perdagangan nasional.
Ketimpangan ini semakin terasa ketika dilihat dari struktur ekspor Indonesia ke AS, yang sangat bergantung pada sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan produk perikanan.
Sektor-sektor ini mewakili lebih dari sepertiga dari total ekspor Indonesia ke Amerika, dan menjadi tulang punggung bagi lapangan kerja jutaan pekerja dalam negeri.
Kenaikan tarif sebesar 19 persen jelas akan memperlemah daya saing produk-produk ini, meningkatkan biaya produksi, dan dalam jangka pendek dapat memicu pengurangan produksi hingga pemutusan hubungan kerja.
Baca juga: Komisi I DPR nilai kesepakatan Prabowo dengan Trump buat RI naik kelas
Baca juga: Analis: Tarif AS 19 persen jadi angin segar bagi sektor padat karya
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.