Celios: Pemerintah perlu evaluasi efisiensi belanja dorong konsumsi

1 month ago 6
Efisiensi belanja pemerintah ikut berkontribusi terhadap berkurangnya dompet kelas menengah, sehingga mereka berpikir ulang belanja barang-barang di luar barang-barang yang esensial,

Jakarta (ANTARA) - Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai pemerintah perlu segera mengevaluasi dan menghentikan kebijakan efisiensi belanja yang memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menekan daya beli dan konsumsi masyarakat, khususnya kelas menengah.

Pernyataan itu disampaikan Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira saat dihubungi di Jakarta, Jumat menanggapi maraknya fenomena “rojali” atau “rombongan jarang beli” yang ramai diperbincangkan.

Istilah itu merujuk pada aktivitas masyarakat yang mengunjungi pusat perbelanjaan hanya untuk melihat-lihat, tanpa berbelanja.

"Efisiensi belanja pemerintah ikut berkontribusi terhadap berkurangnya dompet kelas menengah, sehingga mereka berpikir ulang belanja barang-barang di luar barang-barang yang esensial," katanya.

Baca juga: Pemerintah dinilai perlu perluas stimulus ekonomi guna genjot konsumsi

Menurut Bhima, kelas menengah yang menjadi penggerak utama konsumsi, kini semakin terhimpit oleh kenaikan biaya hidup, inflasi pangan, harga perumahan, dan tingginya suku bunga. Pendapatan yang cenderung menurun membuat kunjungan ke mal hanya sebatas untuk rekreasi atau mencari hiburan.

Bhima memprediksi fenomena "rojali" ini akan terus berlanjut hingga tahun depan, diperparah oleh dampak perang dagang yang berpotensi memicu PHK di sektor padat karya. Oleh karena itu, pusat perbelanjaan harus beradaptasi dengan tren ini.

"Yang tadinya banyak menyediakan gerai baju, gerai-gerai kebutuhan sekunder, sekarang banyak yang bergeser menjadi pusat makanan dan minuman, kemudian rekreasi keluarga. Itu yang sekarang diminati," kata dia.

Untuk membangkitkan kembali daya beli masyarakat dan mengerek konsumsi, Celios tidak hanya mendesak evaluasi efisiensi belanja pemerintah yang memicu PHK, tetapi juga merekomendasikan penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi delapan persen, dan kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp7,5 juta per bulan.

Baca juga: BPS: "Rojali" belum tentu cerminkan kemiskinan, tapi perlu dicermati

Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya melaporkan perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I tahun 2025 menjadi 4,87 persen secara tahunan.

Angka itu lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 5,11 persen.

Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap perlambatan ini adalah kontraksi konsumsi pemerintah sebesar 1,38 persen.

Kontraksi itu terjadi seiring dengan kebijakan efisiensi belanja pemerintah yang mengurangi anggaran untuk perjalanan dinas serta belanja operasional perkantoran.

Baca juga: Ekonom menyoroti faktor utama dari fenomena "rojali" dan "rohana"

Apalagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah memberi sinyal bahwa kebijakan efisiensi anggaran pemerintah akan berlanjut pada tahun anggaran 2026.

Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |