Jakarta (ANTARA) - Sebagian negara anggota BRICS seperti Rusia, China, dan India datang ke KTT di Brasil (6-7 Juli) dengan membawa pengaruh besar, baik dari sisi ekonomi maupun kekuatan militer. Mereka memiliki senjata, infrastruktur strategis, dan bahkan kekuasaan veto dalam berbagai forum internasional.
Namun, Indonesia tidak membawa semua itu. Kita tidak memiliki senjata nuklir. Kita bukan kekuatan militer atau teknologi global.
Lantas, apakah berarti Indonesia tidak memiliki apa-apa untuk ditawarkan?
Dalam KTT BRICS kali ini, Presiden Prabowo Subianto membawa pendekatan yang berbeda. Indonesia tampil bukan sebagai pemain besar dengan kekuatan militer atau ekonomi raksasa, tetapi sebagai penghubung. Sebagai “bridge-builder” yang menjembatani negara maju dan berkembang.
Indonesia menyuarakan pentingnya kerja sama Selatan-Selatan dan memperkuat tata dunia yang lebih setara. Sebuah pendekatan yang lebih relevan di tengah ketidakpastian politik global.
Bukan sekadar wacana, Indonesia menyiapkan 77 proyek prioritas yang akan didorong melalui pembiayaan dari New Development Bank (NDB). Proyek ini mencakup berbagai sektor, mulai dari pembangunan pelabuhan, energi terbarukan, hingga infrastruktur dasar.
Langkah ini menjadi sinyal penting bahwa Indonesia memandang keanggotaan BRICS bukan sekadar seremoni politik luar negeri, tetapi sebagai langkah nyata untuk pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Baca juga: Prabowo bawa Dasasila Bandung ke BRICS
Di tengah dinamika dunia, pemerintah Indonesia juga tengah menggulirkan pembentukan bullion bank dan sovereign wealth fund skala besar.
Ini bukan hanya terobosan fiskal, tetapi juga menunjukkan upaya Indonesia untuk membangun kekuatan ekonomi dari dalam, tidak sekadar menjadi mitra pasif dalam peta kekuatan global.
Indonesia menunjukkan bahwa kita memiliki potensi untuk menjadi pemimpin dalam pengelolaan ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Tantangan Global
Namun, tantangan yang dihadapi Indonesia di BRICS tidaklah kecil. BRICS bukanlah forum yang sepenuhnya setara. China, sebagai kekuatan dominan, seringkali memiliki pengaruh yang besar dalam pengambilan keputusan.
Selain itu, kepentingan tiap negara anggota di sektor energi, pangan, dan teknologi bisa saling bertumpang tindih. Tanpa strategi yang cermat dan komunikasi yang jelas, Indonesia bisa terjebak dalam peran sebagai pelengkap statistik, tanpa kontribusi yang berarti.
Di dalam negeri, Indonesia terus berupaya memperkuat kemandirian fiskal, salah satunya melalui pajak digital.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.