Beijing (ANTARA) - Kementerian Luar Negeri China berharap agar Swiss menghormati urusan dalam negeri Tiongkok termasuk mengenai Xinjiang maupun Tibet.
"Masalah yang terkait dengan Xizang (Tibet) dan Xinjiang murni urusan internal China, kami tidak menoleransi campur tangan kekuatan eksternal apa pun," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun dalam konferensi pers di Beijing pada Kamis (13/2).
Hal tersebut disampaikan terkait dengan laporan pemerintah Swiss yang dirilis pada Rabu (12/2) mengungkapkan bahwa warga Tibet dan Uighur yang tinggal di Swiss mungkin mendapat tekanan dari pemerintah China sehingga didorong untuk memata-matai komunitas mereka.
Selain itu, terlihat juga potensi keterlibatan dalam bentuk-bentuk lain "penindasan transnasional" seperti serangan siber dan pengawasan terhadap kelompok-kelompok minoritas.
Temuan pemerintah Swiss didasarkan pada studi Universitas Basel yang ditugaskan oleh Kantor Kehakiman Federal dan Sekretariat Negara untuk Migrasi.
"Manipulasi politik terhadap masalah yang terkait dengan Xizang dan Xinjiang serta fitnah dan pencemaran nama baik terhadap China yang tidak sesuai dengan fakta melanggar prinsip dasar saling menghormati dalam hubungan China-Swiss, dan bertentangan dengan perkembangan hubungan bilateral yang kuat," ungkap Guo Jiakun.
Ia berharap Swiss dapat melihat dengan jelas urgensi dan sensitivitas soal Xizang dan Xinjiang.
"Sehingga dapat sungguh-sungguh menghormati kepentingan inti dan perhatian utama China, berhenti mengirim pesan yang salah kepada dunia dan mengambil tindakan konkret untuk menegakkan hubungan bilateral secara keseluruhan," tambah Guo Jiakun.
Laporan pemerintah Swiss itu mengatakan bahwa, ada dua diaspora dari kelompok Tibet dan Uighur yang aktif secara politik mengalami pemantauan, difoto, dan difilmkan secara sistematis. Warga negara Swiss yang berkomitmen secara politik terhadap komunitas Tibet dan Uighur juga diawasi.
Meskipun konsekuensi dari penindasan transnasional tidak semudah diidentifikasi seperti terorisme, tapi disimpulkan, "menimbulkan ancaman besar bagi kedaulatan Swiss dalam jangka panjang".
Dikatakan juga bahwa fenomena itu juga "akan meningkat" karena kemajuan teknologi digital dan kerja sama yang semakin erat antara negara-negara otoriter.
Laporan itu mengatakan bahwa "tujuan utama" Beijing adalah mencegah orang Tibet dan Uighur di Swiss terlibat dalam kegiatan politik, khususnya menggunakan serangan siber.
Pemerintah China dituduh terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan atas warga Uighur yang mayoritas beragama Islam dan anggota kelompok etnis dan agama minoritas lainnya di wilayah Xinjiang.
Beijing menyebut Tibet sebagai Daerah Otonomi Xizang. "Tibet" sendiri mengakar pada nama "Tubo" yaitu rezim yang berkuasa pada abad ke-9 dengan wilayah terfragmentasi dari beberapa suku, pada abad ke-13, Dinasti Yuan menguasai wilayah tersebut.
China menyebut Dalai Lama ke-14 mengeklaim bahwa kawasan "Tibet" mencakup Daerah Otonomi Xijang, Qinghai, serta sebagian Sichuan, Gansu, Yunnan, dan Xinjiang karena suku Tibet mendiami daerah-daerah tersebut sehingga pemerintah China pun menegaskan tidak pernah ada yang disebut "Tibet Besar" seperti yang diklaim oleh Dalai Lama.
Pemerintah China pada Januari 2024 saat Tinjauan Berkala Universal (Universal Periodic Review) badan HAM PBB juga mendapat kritik pedas dari negara-negara Barat termasuk soal kekhawatiran atas dugaan upaya menghapus identitas budaya dan agama di Tibet, meski negara-negara lain memuji Beijing, termasuk Rusia dan Iran.
Baca juga: Xinjiang, ingin keluar dari bayang-bayang sanksi dan terorisme
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2025