Bamsoet: Pembentukan Badan Penerimaan Negara perlu Omnibus Law

4 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Anggota DPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet menilai bahwa upaya penataan kelembagaan pendapatan negara yang terpusat dengan rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara perlu pendekatan Omnibus Law.

Menurut dia, untuk mewujudkan Badan Penerimaan Negara sebagai lembaga terpusat yang mengelola seluruh penerimaan negara tidaklah mudah, karena memerlukan revisi setidaknya 11 undang-undang. Terutama di bidang perpajakan, kepabeanan, cukai, PNBP, serta tata kelola keuangan negara.

"Pendekatan Omnibus Law dapat digunakan untuk merevisi berbagai UU sekaligus dalam satu regulasi agar lebih cepat dan terintegrasi. Ini bisa berbentuk RUU Konsolidasi Penerimaan Negara yang mengintegrasikan seluruh aturan perpajakan, kepabeanan, cukai, dan PNBP ke dalam satu sistem terpadu di bawah Badan Penerimaan Negara​​​," kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Minggu.

Dia menuturkan rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara merupakan salah satu program prioritas dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025-2029 yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada tanggal 10 Februari 2025.

Menurut dia, Badan Penerimaan Negara dirancang untuk meningkatkan penerimaan negara, baik dari sektor pajak maupun non-pajak. Tujuannya memperkuat fondasi fiskal Indonesia dan mendukung pembangunan ekonomi jangka panjang, yang meliputi reformasi administrasi, perencanaan dan penyempurnaan proses bisnis, serta internalisasi sistem baru untuk efektivitas administrasi dan kelembagaan.

Dia menilai rendahnya pendapatan negara di Indonesia saat ini disebabkan masih adanya kesenjangan mencakup aspek administrasi maupun kebijakan yang memerlukan transformasi tata kelola kelembagaan sebagai enabler untuk optimalisasi pendapatan negara.

Maka dari itu, menurut dia, pembentukan Badan Penerimaan Negara merupakan langkah strategis dalam meningkatkan kapasitas ruang fiskal pemerintah yang memadai agar memberikan stimulus terhadap perekonomian nasional serta menciptakan landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

"Dukungan terhadap pembentukan Badan Penerimaan Negara tidak hanya penting dari sisi ekonomi, tetapi juga sebagai upaya untuk mewujudkan tata kelola kelembagaan yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel. Dengan demikian, Badan itu dapat menjadi pilar utama dalam upaya meningkatkan rasio penerimaan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ke 23 persen," kata dia.

Selain itu, dia menilai pembentukan Badan Penerimaan Negara juga sejalan dengan upaya transformasi tata kelola kelembagaan yang lebih efisien dan terintegrasi. Saat ini, pengelolaan penerimaan negara masih terfokus pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), serta kementerian/lembaga pengelola PNBP, yang seringkali menyebabkan tumpang tindih wewenang dan inefisiensi.

"Contoh sukses dari negara lain adalah Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS), yang berhasil meningkatkan kepatuhan pajak dan efisiensi pengelolaan penerimaan negara melalui sistem yang terintegrasi dan berbasis teknologi," kata dia.

Pembentukan Badan Penerimaan Negara, kata dia, juga untuk melindungi hak-hak para wajib pajak untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan. Pada tahun 2023, tingkat kepatuhan pajak di Indonesia masih rendah, dengan hanya 16 juta wajib pajak yang aktif melaporkan SPT dari total potensi 60 juta wajib pajak.

"Badan Penerimaan Negara dapat mengadopsi praktik terbaik dari negara lain, seperti sistem self-assessment yang transparan dan berbasis teknologi. Contohnya, di Estonia, sistem perpajakan yang sederhana dan transparan telah berhasil meningkatkan kepatuhan pajak hingga 85 persen," katanya.

Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |