Bagaimana seharusnya merespons era antiklimaks giant tech Amerika?

3 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Era dominasi perusahaan teknologi raksasa Amerika Serikat, yang selama dua dekade terakhir menjadi penggerak utama inovasi global, mulai menunjukkan tanda-tanda antiklimaks.

Fenomena ini bukan sekadar akibat dari siklus bisnis alami atau persaingan global yang sehat, melainkan hasil dari kombinasi kebijakan proteksionis yang tidak biasa dan regulasi domestik yang dianggap menghambat inovasi.

Di tengah perubahan ini, muncul pertanyaan penting terkait bagaimana Indonesia seharusnya merespons dinamika baru ini untuk memperkuat posisinya di kancah teknologi global?

Ketua Komite Tetap (Komtap) AI Asosiasi Pengusaha Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (APTIKNAS), Karim Taslim, menilai kebijakan tarif dan cukai yang diterapkan selama masa pemerintahan Donald Trump di AS menjadi salah satu pemicu utama terjadinya gesekan dengan mitra dagang tradisional seperti Eropa dan Kanada.

Kebijakan yang dimaksudkan untuk melindungi industri dalam negeri AS itu, justru memicu tindakan balasan dari negara-negara mitra tersebut.

Dampaknya merembet ke berbagai sektor, termasuk teknologi, di mana perusahaan-perusahaan Amerika mulai merasakan tekanan dari pasar internasional.

Di saat yang sama, menurut Karim yang juga Founder Indonesia AI Innovation Challenge dan COO - PT. Terre Tech Nusantara itu, negara lain seperti Tiongkok memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat dominasi mereka, terutama di bidang kecerdasan buatan (AI).

Perkembangan AI di Tiongkok melaju pesat, meninggalkan Amerika yang terhambat oleh regulasi ketat terkait privasi, hak asasi manusia, dan kekayaan intelektual.

Di satu sisi, regulasi tersebut memang penting untuk melindungi hak-hak individu, tetapi di sisi lain, mereka menjadi penghalang bagi inovasi yang cepat dan adaptif.

Tiongkok, dengan pendekatan yang lebih longgar terhadap regulasi semacam ini, mampu mengembangkan teknologi AI yang lebih agresif dan kompetitif di pasar global.

Tanda-tanda keretakan dominasi teknologi Amerika mulai terlihat semakin nyata ketika insiden serius terjadi pada 1 Februari 2025.

Di Indonesia, Google, sebagai simbol kekuatan teknologi Amerika, sempat mengalami kegagalan fatal dalam menampilkan kurs USD/IDR yang akurat.

Baca juga: Kurs rupiah menguat ke Rp8.170 per dolar AS diduga karena Google eror

Baca juga: Menguatnya rupiah di Google dan ilusi digital yang menyesatkan

Insiden ini diyakini banyak pihak, bukan semata soal kesalahan teknis, tetapi mencerminkan kerentanan sistem yang selama ini dianggap tak tergoyahkan.

Kepercayaan publik terhadap algoritma dan metode pencarian Google mulai terkikis, mendorong sebagian pengguna beralih ke aplikasi generatif AI yang menawarkan hasil lebih akurat dan personal.

Sementara itu, di belahan dunia lain, Tiongkok menunjukkan kekuatan mereka dalam menghadapi serangan siber besar-besaran yang diduga datang dari arah pentagon pada pekan lalu.

Serangan DDoS yang dilancarkan pada dini hari dengan frekuensi mencapai 800.000 permintaan per detik bertujuan melumpuhkan infrastruktur jaringan penting Tiongkok.

Namun, respons cepat dari perusahaan-perusahaan teknologi seperti Huawei, 360, dan komunitas hacker patriotik berhasil menggagalkan serangan tersebut.

Mereka tidak hanya mempertahankan sistem, tetapi juga melakukan serangan balik simbolis yang memperlihatkan kecanggihan dan kesiapan mereka dalam perang siber.

Kisah pertempuran siber ini menjadi simbol kebangkitan Tiongkok dalam mempertahankan kedaulatan digital mereka. Dalam 96 jam yang penuh ketegangan, para insinyur dan teknisi Tiongkok menunjukkan ketangguhan luar biasa.

Mereka bekerja tanpa henti, mengorbankan kenyamanan pribadi demi menjaga keamanan data nasional. Keberhasilan ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal semangat kolektif dan dedikasi tinggi terhadap tujuan bersama.

Pertarungan ini juga menjadi pelajaran penting bagi negara lain, termasuk Indonesia. Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, keamanan siber bukan lagi sekadar isu teknis, melainkan bagian integral dari kedaulatan nasional.

Indonesia harus menyadari bahwa ketergantungan berlebihan pada teknologi asing dapat menjadi titik lemah yang berbahaya. Insiden yang menimpa Google menunjukkan betapa rapuhnya sistem yang tampak kuat di permukaan.

Ini adalah momen bagi Indonesia untuk memperkuat infrastruktur teknologi domestik, meningkatkan investasi dalam penelitian dan pengembangan AI, serta membangun sistem keamanan siber yang tangguh.

Baca juga: Perusahaan siber identifikasi serangan DDoS ke 46 perusahaan Jepang

Baca juga: Waspada lima ancaman siber bagi UMKM di tahun 2023


Pemain Kunci

Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain kunci di era teknologi baru ini. Dengan populasi yang besar dan demografis yang muda, Indonesia adalah pasar yang menjanjikan sekaligus sumber talenta yang melimpah.

Pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem inovasi yang kondusif, di mana startup teknologi lokal dapat tumbuh dan bersaing di tingkat global.

Selain itu, pendidikan di bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika) harus diperkuat untuk mencetak generasi muda yang siap menghadapi tantangan teknologi masa depan.

Regulasi yang mendukung inovasi tanpa mengorbankan privasi dan hak asasi manusia juga menjadi kunci.

Indonesia harus belajar dari kesalahan Amerika dalam menyeimbangkan kebutuhan akan perlindungan data dengan kebutuhan untuk mendorong kemajuan teknologi.

Pendekatan yang fleksibel dan adaptif terhadap regulasi akan memungkinkan perkembangan teknologi yang lebih cepat dan relevan dengan kebutuhan pasar.

Tidak kalah pentingnya adalah membangun ketahanan siber yang solid. Indonesia harus berinvestasi dalam teknologi pertahanan siber dan melatih tenaga ahli di bidang ini.

Ancaman siber tidak hanya datang dari negara lain, tetapi juga dari aktor non-negara yang dapat merusak stabilitas nasional. Oleh karena itu, strategi keamanan siber harus menjadi bagian integral dari kebijakan nasional.

Di era di mana dominasi teknologi global sedang mengalami pergeseran, Indonesia memiliki peluang untuk mengambil peran yang lebih besar.

Dengan langkah yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan momen antiklimaks dari raksasa teknologi Amerika untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan teknologi baru di Asia.

Inilah saatnya bagi Indonesia untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta dan inovator yang mampu bersaing di panggung dunia.

Baca juga: Menkomdigi: Teknologi bangun masa depan Indonesia

Baca juga: ATSI: Telekomunikasi kunci percepatan industri digital Indonesia

Baca juga: Pemerintah pilah standar global bentuk regulasi AI di Indonesia

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |