Jakarta (ANTARA) - Hampir setiap pagi, rutinitas itu dijalani Ayu Rianti. Ketika matahari belum benar-benar muncul, dia sudah berdiri di depan pintu rumahnya di Cinere, Depok.
Jam masih menunjukkan pukul lima, dan anaknya masih terlelap dalam pelukan mimpi. Ia menarik napas panjang, mengenakan sepatu kerjanya, lalu melangkah keluar.
Perjalanan panjang menuju kantor di Kuningan dimulai seperti biasa. Di balik rutinitas yang tampak mapan sebagai karyawan bank dengan nasabah prioritas dan gaji tetap, hatinya menyimpan keresahan, ia ingin menjalani sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas.
Ia ingin kemandirian finansial, waktu untuk keluarga dan hidup yang sepenuhnya ia kendalikan sendiri.
Keinginan itu pelan-pelan membawanya pada jalan yang jauh lebih terjal dari sekadar antre di kemacetan Ibu Kota.
Di sela pekerjaannya, Ayu mulai berjualan legging anak, mainan edukatif, hingga flash card. Ia mengurus semuanya sendiri, bahkan menulis tangan invoice satu per satu saking teguh niatnya untuk mewujudkan mimpi.
Bermodalkan kartu kredit, setiap rupiah dipertaruhkan sebagai biaya awal usaha. Usahanya berganti-ganti, dari bulu mata palsu, baju pesta, hingga sulam alis. Semua ia coba satu demi satu. Hingga akhirnya, ada hasil, ia bisa membeli apartemen dari hasil jerih payahnya sendiri.
Namun hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Pada 2018, ketika ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan yang selama ini memberinya kenyamanan, Semua bisnis yang dibangun dengan susah payah justru ambruk bersamaan. Tabungan menipis, bisnis gulung tikar, dan hidup seperti mundur ke titik nol.
Di tengah keputusasaan, Ayu kembali mencari lowongan kerja di bank namun kondisi perekonomian dan keadaan membuatnya berpikir ulang untuk kembali bekerja kantoran. Di saat bersamaan, kakaknya pun mengalami nasib serupa, dipecat bersama suaminya karena sering izin merawat anak yang sakit. Hidup seolah mempermainkannya.
Tapi Ayu tidak berhenti. Ia menerima jasa homecare sulam alis dan bulu mata, sambil terus mencoba berjualan kosmetik anak. Bersama kakaknya, mereka membagi peran, kakaknya mengurus kemasan dan tamu, sementara Ayu fokus di pemasaran dibantu oleh dua asisten rumah tangga.
Namun nasib kembali menguji. Kedua asisten itu memutuskan untuk berhenti bersamaan. Dalam kelelahan dan air mata, Ayu kembali ke titik awal menjual produk milik orang lain.
Yang tak ia sangka, dari titik terendah itulah keajaiban pelan-pelan datang.
Ia sebelumnya kerap memproduksi skincare sendiri dan dipasarkan ke komunitasnya. Testimoni dari para ibu yang menggunakan pelembab anak produksinya memberi secercah harapan.
“Bagus banget hasilnya,” begitu komentar yang berulang kali ia dengar.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

















































