Yusril: UU 24/1956 dan MoU Helsinki tak selesaikan status empat pulau

3 months ago 6

Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 dan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki tidak bisa dijadikan referensi utama dalam menentukan status kepemilikan empat pulau di Aceh dan Sumatera Utara.

Empat pulau dimaksud, yakni Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.

"Sederhana saja. Perjanjian Helsinki menyebutkan bahwa wilayah Aceh adalah wilayah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara," ujar Yusril, seperti dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.

Untuk itu, terkait penyelesaian masalah sengketa empat pulau tersebut, Yusril menyampaikan bahwa pemerintah pusat dapat menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah kedua kabupaten dan provinsi duduk bersama untuk mencari solusi. Jika tidak tercapai kesepakatan, persoalan dapat diserahkan kepada pemerintah pusat.

Selain itu, Yusril juga menekankan bahwa Presiden RI memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan lantaran presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan negara yang tertinggi menurut Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Baca juga: Mendagri: Dokumen 1992 jadi dasar empat pulau masuk wilayah Aceh

Ia pun menjelaskan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 hanya menyebutkan bahwa Provinsi Aceh terdiri atas beberapa kabupaten tanpa menyebutkan batas-batas wilayah yang jelas, baik antara Provinsi Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara, maupun batas antarkabupaten di Provinsi Aceh.

Disebutkan bahwa Kabupaten Aceh Singkil, yang sekarang bersebelahan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, belum ada pada tahun 1956. Keempat pulau itu pun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 maupun dalam MoU Helsinki.

Oleh karena itu, Yusril menilai kedua instrumen hukum tersebut tidak dapat dijadikan dasar penyelesaian status keempat pulau yang dipermasalahkan.

Akan tetapi, dikatakan Yusril, bahwa tidak menutup kemungkinan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 dijadikan dasar bagi keberadaan Kabupaten Aceh Singkil sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 1999.

Baca juga: Menko: Keputusan presiden soal sengketa pulau demi stabilitas politik

Menurut dia, penyelesaian batas wilayah, baik darat maupun laut antardaerah, kini harus merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015.

Dalam praktiknya, kata Yusril, beberapa undang-undang pemekaran daerah telah mencantumkan titik koordinat yang jelas, namun ada pula yang belum.

Dijelaskan Menko Yusril bahwa pemekaran provinsi hanya menyebutkan terdiri atas kabupaten dan kota, sedangkan pemekaran kabupaten atau kota hanya menyebutkan kecamatannya.

"Selanjutnya undang-undang memberikan delegasi kewenangan kepada Mendagri untuk mengatur tapal batas wilayah dengan Permendagri," ucapnya.

Baca juga: Presiden putuskan empat pulau sengketa masuk wilayah Provinsi Aceh

Kendati demikian, hingga saat ini, Yusril menyampaikan bahwa belum ada Permendagri yang mengatur batas darat dan laut antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah.

Namun, bahwa yang ada hanya Keputusan Mendagri (Kepmendagri) terkait kode wilayah administrasi yang mencantumkan keempat pulau tersebut dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah.

"Keputusan Mendagri inilah yang memicu kehebohan beberapa hari terakhir ini. Saya berpendapat Kepmendagri ini nanti harus direvisi segera setelah terbitnya Permendagri yang mengatur tapal batas darat dan laut antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah," ujar Yusril menambahkan.

Baca juga: AHY: Keputusan presiden harus dikawal soal sengketa pulau Aceh-Sumut

Permasalahan sengketa empat pulau di wilayah Aceh Singkil antara Aceh dan Sumatera Utara telah berlangsung lama. Keduanya saling klaim kepemilikan.

Kemudian, Kemendagri mengeluarkan keputusan Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, ditetapkan pada 25 April 2025.

Keputusan Kemendagri itu menetapkan status administratif empat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.

Terbaru, Presiden RI Prabowo Subianto memutuskan untuk status Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek masuk wilayah administratif Provinsi Aceh.

Hal ini disampaikan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi seusai menggelar rapat terbatas bersama sejumlah pihak terkait di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa.

"Pemerintah mengambil keputusan bahwa keempat pulau yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek secara administratif berdasarkan dokumen pemerintah masuk ke wilayah administratif wilayah Aceh," kata Mensesneg di Kantor Presiden Jakarta.

Baca juga: Prabowo apresiasi temuan dokumen kunci sengketa empat pulau

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |