Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Umum Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Kadin Indonesia Aryo Djojohadikusumo mengatakan kerja sama pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Indonesia lebih prospektif jika dijalin dengan Korea Selatan dan Kanada.
Menurut Aryo, kerja sama PLTN dengan Kanada dan Korsel lebih aman dari konteks geopolitik dan ekonomi global di tengah dinamika global saat ini serta ancaman perang tarif yang dilancarkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
“Ada teknologi yang sangat menarik dari Kanada dan Korea. Menurut saya ini jauh lebih diterima pemerintah Presiden Donald Trump,” kata Aryo dalam acara Energi Insights Forum, Unpacking Indonesia’s New RUPTL: Policy and Market Implication di Jakarta, Rabu.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 Indonesia berencana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) berkapasitas total 500 megawatt.
Sejalan dengan itu, kata Aryo, Kadin menerima banyak pertanyaan dari negara-negara lain terkait pengembangan nuklir di Indonesia.
Pembahasan terkait nuklir identik dengan negara seperti AS, Rusia, dan Cina. Namun, ujar dia, sebetulnya negara seperti Kanada yang memiliki cadangan uranium cukup besar juga potensial untuk penjajakan kerja sama.
Rencana pembangunan PLTN di Indonesia, kata Aryo, memantik tawaran dari berbagai negara.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya, Kanada dan Rusia sudah mengajukan proposal untuk turut serta mengembangkan PLTN di Indonesia.
Bahlil menyampaikan bahwa peta jalan pengembangan PLTN sudah dibuat hingga 2034, dengan kapasitas mencapai 500 MW. Sebesar 250 megawatt (MW) akan dibangun di Sumatera, dan 250 MW sisanya akan dibangun di Kalimantan.
Indonesia berencana untuk menggunakan teknologi SMR (small modular reactor/reaktor modular kecil) untuk di dua lokasi tersebut.
Indonesia sebenarnya sudah menjajaki kerja sama dengan Korea Selatan, seperti yang pernah diungkapkan Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung. Akan tetapi, Negeri Ginseng tersebut menggunakan teknologi skala besar. Saat ini, Indonesia sedang mencari referensi untuk negara-negara yang menggunakan teknologi SMR.
Lebih lanjut, Aryo juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mempercepat transisi energi. Menurut dia, target penambahan kapasitas di dalam RUPTL adalah momentum besar Indonesia untuk menjadi pemain penting transisi energi dunia. Oleh karena itu, memerlukan kolaborasi konkret di antara pemangku kepentingan terkait.
“Dokumen (RUPTL) ini bukan sekadar daftar proyek kelistrikan, tetapi peta jalan masa depan ekonomi Indonesia yang lebih berdaya saing sekaligus berkomitmen pada target iklim global,” ujar Aryo.
Dalam dokumen RUPTL, pemerintah melalui Kementerian ESDM & Perusahaan Listrik Negara (PLN) menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 gigawatt (GW), yang mana 42,6 GW di antaranya berasal dari sumber energi terbarukan.
Baca juga: Pertamina NRE tertarik kembangkan PLTN di Indonesia
Baca juga: Menteri ESDM: Kanada dan Rusia ajukan proposal pengembangan PLTN
Baca juga: ITPLN bentuk lembaga riset nuklir dukung pengembangan PLTN
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.