Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) mendorong negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN untuk menjadi pelopor dalam merespons dua tantangan besar masa depan, yakni kecerdasan buatan (AI) dan perubahan iklim.
Dalam kuliah umum bertajuk “Navigating a Changing World: ASEAN’s Path to Stability and Prosperity” di Universitas Malaya, Malaysia, Rabu (30/4), Ibas menekankan pentingnya kesiapan kolektif dan kolaborasi regional dalam menjawab disrupsi teknologi dan krisis lingkungan global.
“Ada tantangan besar yang akan membentuk hidup kita, yaitu kecerdasan buatan (AI) dan perubahan iklim. Mungkin tampak sangat berbeda, yang satu tentang teknologi, yang lain tentang lingkungan, tapi keduanya sangat besar dan mengharuskan kita untuk bersiap,” kata Ibas di hadapan mahasiswa dan akademisi di Auditorium Fakultas Bisnis dan Ekonomi, sebagaimana dikutip dari Jakarta, Jumat.
Baca juga: Waka MPR ajak FPCI dukung diplomasi iklim Presiden
Terkait AI, Ibas mengakui potensi luar biasa teknologi ini, namun menyoroti risiko yang juga mengikutinya.
"AI bisa lebih pintar dari manusia, bisa lebih cepat dari apa pun, tapi juga bisa membawa kekhawatiran. Banyak pekerjaan akan berubah, beberapa bahkan hilang. Kita harus siap beradaptasi," ujarnya.
Menurutnya, negara-negara ASEAN memiliki keunggulan dalam nilai-nilai kemanusiaan, identitas budaya, dan empati yang tidak bisa digantikan oleh mesin.
"Kita bisa merancang dan menggunakan AI yang memanusiakan manusia. Itulah kekuatan Asia Tenggara," tambah alumni S3 IPB University tersebut.
Ia menekankan perlunya kerja sama internasional untuk menangani risiko AI. Tidak ada satu negara pun yang dapat mengelola dampak AI sendirian karena teknologi melintasi batas negara.
Baca juga: Eddy Soeparno bicara soal iklim dalam kegiatan MPR Goes to Campus
Di sisi lain, dirinya menolak anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi harus mengorbankan alam. Ia menyatakan bahwa ekonomi dan ekologi bisa berjalan beriringan, bahkan saling memperkuat.
"Itu pandangan yang picik. Jika kita mengorbankan lingkungan sekarang, keuntungan ekonomi mungkin tidak akan bertahan lama. Yang baik adalah PDB (ekonomi) tinggi, pertumbuhan berkeadilan tinggi, dan kita juga dapat menjaga lingkungan, dapat menghirup udara bersih dan meminum air bersih," jelas Ibas.
Dia menyoroti langkah-langkah positif yang telah diambil Indonesia dan Malaysia, seperti larangan plastik sekali pakai dan penanaman 2 miliar pohon di Indonesia. Kendati demikian, ia mengingatkan bahwa perubahan iklim adalah tantangan lintas batas.
“Seperti kata orang, kabut asap tidak memerlukan paspor untuk melintasi perbatasan, bukan? Itulah sebabnya kerja sama regional sangat penting," tuturnya.
Baca juga: Wapres Gibran: Kurikulum AI akan masuk di tahun ajaran baru sekolah
Oleh karena itu, negara-negara ASEAN harus saling membantu tetap berpegang pada komitmen hijau.
Ibas yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasihat Kadin pun memaparkan bahwa ekonomi hijau yang sedang berkembang dapat dimanfaatkan oleh kaum muda.
Kuliah umum ini disambut positif oleh pihak Universitas Malaya. Associate Deputy Vice-Chancellor (Academic & International) Prof. Dr. Yvonne Lim Ai Lian menyebut kuliah ini bukan hanya pertukaran akademis, tapi juga penegasan hubungan hangat Indonesia-Malaysia.
"Kami berharap para pemimpin yang berpikiran maju seperti Dr. Edhie Baskoro dapat membantu kami untuk berefleksi, beradaptasi, dan berinovasi. Kuliah ini lebih dari sekadar pertukaran akademis, tapi penegasan kembali hubungan hangat yang kuat antara Malaysia dan Indonesia," ucap Yvonne.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Malaya, Nasatha menyampaikan antusias dan bangganya bisa berpartisipasi langsung di kuliah umum ini.
“Kami mendapat banyak ilmu baru, terutama tentang isu AI, SDGs, dan hal-hal yang harus dihadapi ASEAN di dunia yang terus berubah ini. Terima kasih Dr. Edhie Baskoro, kami sangat berharap akan ada kesempatan di masa mendatang baginya untuk mengunjungi Universitas Malaya lagi," ujar Nasatha.
Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Rangga Pandu Asmara Jingga
Copyright © ANTARA 2025