Tanam raya dan terobosan cerdas menggenjot produksi pangan

13 hours ago 6

Jakarta (ANTARA) - Pemerintah baru-baru ini melaksanakan kegiatan tanam padi serentak di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan.

Gerakan ini merupakan langkah strategis dalam memperkuat ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Tak sekadar seremoni, tanam raya ini menggunakan teknologi modern berupa drone dan dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.

Ini adalah simbol komitmen politik tingkat tertinggi dalam mendukung sektor pertanian yang selama ini sering kali dianggap sektor pinggiran. Dengan keterlibatan langsung kepala negara, pesan yang disampaikan menjadi sangat jelas: pertanian adalah prioritas utama.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyampaikan bahwa tanam serentak dilakukan di 160 kabupaten di seluruh Indonesia.

Ini merupakan langkah besar yang tidak hanya membutuhkan koordinasi lintas sektor, tetapi juga partisipasi aktif petani, penyuluh, dan aparat pemerintahan di daerah.

Dalam skala nasional, gerakan ini menjadi sangat penting karena menyatukan semangat, agenda, dan strategi pembangunan pertanian yang selama ini sering terpecah-pecah.

Target luas tanam pada April 2025 mencapai 1,3 juta hektare dengan estimasi produksi sekitar 7,5 juta ton gabah, setara dengan 3,5 hingga 4 juta ton beras.

Ini bukan angka sembarangan. Ini merupakan angka yang ambisius sekaligus menunjukkan kesungguhan pemerintah mengangkat sektor pertanian ke level yang lebih tinggi dan menjadikan Indonesia lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya sendiri.

Serapan beras oleh Perum Bulog hingga April tahun ini juga mencapai titik tertinggi dalam satu dekade terakhir.

Hal ini menjadi catatan penting karena ketersediaan stok beras sangat menentukan stabilitas harga di pasar dan sekaligus menjamin ketenangan psikologis masyarakat.

Stok beras nasional tercatat sebesar 3 juta ton. Ini bukan hanya statistik, melainkan bukti bahwa kerja keras untuk menggenjot produksi benar-benar membuahkan hasil.

Prestasi ini layak diapresiasi sebagai buah dari sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pelaku utama di lapangan yakni para petani.

Tanam raya bukan sekadar agenda tahunan. Ia adalah pendekatan sistemik yang memiliki manfaat besar bagi ekosistem pertanian dan manajemen pangan secara nasional.

Pertama, meningkatkan efisiensi karena petani bergerak secara bersamaan. Efisiensi ini berdampak pada penurunan biaya operasional dan waktu kerja.

Kedua, menekan serangan hama dan penyakit yang kerap merebak saat pola tanam tidak seragam. Keuntungan ini sangat penting dalam mengurangi ketergantungan pada pestisida dan meningkatkan kualitas hasil panen.

Ketiga, mendongkrak produktivitas karena optimalisasi sumber daya dan lahan. Inisiatif seperti ini sering diorganisasi oleh pemerintah atau kelompok tani dalam skala besar untuk mendorong ketahanan pangan dan mencegah kekurangan bahan pokok.

Langkah Presiden Prabowo dan para menteri yang terjun langsung di lapangan adalah simbol kepedulian tinggi terhadap petani.

Mereka tidak hanya mengeluarkan kebijakan dari balik meja, tetapi menunjukkan keberpihakan nyata dengan hadir di sawah, merasakan langsung denyut nadi petani.

Kementerian Pertanian menunjukkan kinerja luar biasa dalam mendorong produksi menuju swasembada. Serapan gabah yang tinggi menjadi indikator keberhasilan yang tidak bisa dipandang remeh.


Swasembada beras

Namun ada pertanyaan yang tak boleh diabaikan yakni apakah Indonesia telah memiliki grand desain swasembada beras yang sekaligus menyejahterakan petani?

Ini bukan sekadar soal produksi berlimpah, tetapi bagaimana keberlimpahan itu bermuara pada peningkatan kualitas hidup petani. Apakah petani bisa mengakses harga yang layak? Apakah pendapatan mereka stabil? Apakah mereka memiliki jaminan perlindungan terhadap gagal panen atau fluktuasi harga pasar?

Sejarah mencatat, peningkatan produksi belum tentu berbanding lurus dengan kesejahteraan petani.

Banyak variabel lain yang memengaruhi, terutama harga jual gabah di tingkat petani. Ketika harga jatuh, maka surplus produksi justru menjadi beban, bukan berkah.

Di sinilah pentingnya peran negara dalam menjaga keseimbangan harga dan menjamin bahwa petani tidak dirugikan.

Kebijakan satu harga pembelian gabah oleh pemerintah, tanpa ketentuan teknis soal kadar air dan hampa, menjadi angin segar. Ini adalah bentuk keberpihakan yang nyata. Apalagi kebijakan tersebut dikawal langsung oleh Presiden.

Ini memberi harapan bahwa nasib petani mulai diperhatikan secara lebih serius, tidak hanya sebagai produsen pangan tetapi juga sebagai warga negara yang berhak atas kesejahteraan.

Dengan stok beras pemerintah di atas 3 juta ton dan rencana menghentikan impor beras konsumsi mulai 2025, sah jika negeri ini menyambut era baru dengan mengumandangkan: “Selamat Datang Kembali Swasembada Beras.”

Namun tantangan sebenarnya adalah mampukah Indonesia menjadikan swasembada ini sebagai kondisi yang berkelanjutan? Apakah ini hanya keberhasilan sesaat atau awal dari kebangkitan permanen?

Ini adalah pekerjaan rumah besar Kabinet Merah Putih. Bangsa ini pernah mencicipi manisnya swasembada, namun sayangnya hanya bersifat sementara.

Dunia internasional pun pernah mengakui keberhasilan itu, tetapi swasembada yang bersifat tren tidak akan cukup. Negeri ini butuh swasembada yang permanen, yang tidak mudah goyah oleh dinamika cuaca, krisis iklim, maupun gejolak pasar global. Ketahanan pangan tidak boleh menjadi agenda musiman, tapi harus menjadi sistem yang kokoh.

Swasembada beras "on trend" hanya mencerminkan tren peningkatan produksi dalam waktu tertentu. Sedangkan swasembada permanen menunjukkan daya tahan dan kesinambungan. Dua hal ini sangat berbeda secara mendasar.

Tanam raya yang dipimpin Presiden adalah sinyal kuat bahwa pemerintah menargetkan swasembada yang berjangka panjang. Bukan sekadar swasembada politis atau simbolik, tetapi transformasi menyeluruh dalam sistem produksi pangan.

Tanam raya telah digelar di Banyuasin. Target 7,5 juta ton gabah sudah ditetapkan. Semua tentu berharap prakiraan cuaca dari BMKG mendukung.

Sebab, seberapa besar pun anggaran digelontorkan, jika cuaca dan iklim tidak bersahabat, cita-cita bisa buyar. Semoga bukan itu yang terjadi. Karena dari ladang-ladang petani hari ini, masa depan pangan bangsa sedang ditanam.

Inilah momentum emas untuk membuktikan bahwa Indonesia tak hanya mampu menanam lebih banyak, tapi juga mampu menumbuhkan keadilan dan kesejahteraan bagi para petani yang menjadi tulang punggung negeri.

Swasembada bukan lagi mimpi sesaat, melainkan janji bersama yang harus dijaga, dirawat, dan diwariskan.


*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |