Surat dari Timur Tengah: Perang bayangi Ramadan warga Sudan

4 hours ago 1

Jakarta (ANTARA) - Di depan toko kecilnya di daerah Um Dawanban, yang terletak di sebelah timur Khartoum, ibu kota Sudan, Mubarak Abdul-Salam memasang sejumlah dekorasi sederhana berupa bulan sabit dan bulan warna-warni yang berpendar untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan bagi umat Muslim.

Terpaksa meninggalkan rumahnya di Ed Hussein, Khartoum selatan, Abdul-Salam kini bermukim di Um Dawanban, tempat dia membuka sebuah toko kelontong kecil. Namun di tempat baru ini, sisa-sisa perang masih terlihat di mana-mana. Bangunan yang hangus, tembok-tembok yang penuh dengan lubang peluru, serta jalan-jalan yang tertimbun puing-puing menjadi pengingat akan bentrokan terbaru antara Angkatan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF) dan Pasukan Pendukung Cepat (Rapid Support Forces/RSF).

"Meski kesedihan sangat membebani kami, kami berusaha untuk menghadirkan sedikit kegembiraan dan mengingatkan orang-orang tentang makna spiritual dari Ramadan," ujar Abdul-Salam dengan kegetiran dalam suaranya sembari menyusun barang dagangan di rak.

Jarang ada pelanggan yang datang, selain takut akan perang juga karena meroketnya harga-harga.

Menurut Abdul-Salam, harga sekarung jawawut (millet) kini mencapai 200.000 pound Sudan (1 pound Sudan = Rp27) di pasar paralel, naik dari 40.000 pound sebelum perang meletus pada pertengahan April 2023. Harga sekarung jagung melonjak dari 30.000 pound pada 2023 menjadi 150.000 pound, sementara harga gula kini mencapai 2.500 pound per kg, naik dari 600 pound. Harga minyak goreng juga meroket menjadi 5.000 pound per liter dari yang sebelumnya hanya 1.200 pound.

Depresiasi mata uang pound Sudan yang tajam semakin memperburuk kondisi kehidupan. Satu dolar AS kini diperdagangkan seharga 2.500 pound di pasar gelap, dibandingkan dengan sekitar 580 pound sebelum konflik dimulai.

Menjelang Ramadan, pasar-pasar di Port Sudan, yang kini menjadi pusat perdagangan di negara tersebut, tetap sepi, dengan lebih sedikit toko yang menawarkan produk-produk tradisional.

Tradisi Ramadan yang telah lama berjalan, kini hilang. Prosesi yang dulu lazim dilakukan, dekorasi di etalase toko, dan "Al Musaharati", yaitu sekelompok penabuh gendang yang membangunkan warga untuk sahur, tak lagi terlihat karena masalah keamanan dan diberlakukannya jam malam.

"Suasana Ramadan di sini sangat berbeda dengan yang biasa kami rasakan di Khartoum," tutur Khalid Hassan (35), mengaitkan perubahan itu dengan perang, ketidakamanan, dan kesulitan ekonomi.

"Saya sangat sedih dengan situasi ekonomi kami, yang membuat kami tidak dapat mempersiapkan diri untuk menyambut Ramadan seperti dulu. Ini adalah bagian dari tradisi dan nilai-nilai kami," kata Faiza Al-Nour (50), yang mengungsi dari Khartoum selatan pada Juni 2023 dan kini tinggal di tempat penampungan di Port Sudan selatan.

"Saya menyangrai satu kilogram biji kopi karena saya tidak mampu membeli lebih banyak," ujarnya sambil duduk di bangku kayu dan mengaduk biji kopi yang sedang disangrai.

Pada November 2024, Komisi Bantuan Kemanusiaan Sudan melaporkan bahwa 28,9 juta orang di Sudan membutuhkan bantuan kemanusiaan karena perang yang sedang berlangsung. Pada Januari 2025, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs/OCHA) menaikkan angka tersebut menjadi 30,4 juta.

Pengungsi Sudan mengambil air bersih di penampungan pengungsi di Juba, Sudan Selatan, 27 Februari 2025. ANTARA/Xinhua/Wang Guansen

Perekonomian Sudan terjun bebas. Kementerian Keuangan mengatakan pada Mei 2024 bahwa sektor-sektor produktif utama lumpuh, ekspor terhenti, mata uang nasional mengalami devaluasi, dan pendapatan pemerintah anjlok 80 persen. Sejak saat itu, tidak ada informasi terbaru mengenai dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh perang tersebut

Konflik ini tidak hanya mengganggu arus barang impor, tetapi juga menghambat transportasi produk pertanian lokal, sehingga memperparah kerawanan pangan.

"Selama musim panen mangga tahun lalu, hasil panen rusak di beberapa daerah karena para produsen tidak dapat membawa produk mereka ke pasar-pasar utama," ungkap Abdul-Qadir Abdoun, anggota Serikat Petani Sudan Utara.

"Kesulitan semakin meningkat akibat perang, terutama terputusnya akses daerah produksi dari pasar utama karena faktor ketidakamanan, penutupan jalan, dan biaya transportasi yang tinggi," jelasnya.

Menurut Abdoun, para petani Sudan utara mengalami kerugian besar pada awal tahun ini ketika mereka tidak dapat mengangkut hasil panen kentang mereka ke pasar-pasar utama karena melonjaknya biaya transportasi. Akibatnya, mereka hanya dapat menjual hasil panen mereka secara lokal dengan harga yang terlalu rendah untuk menutupi biaya produksi.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |