Melbourne (ANTARA) - Sebuah studi baru internasional mengungkapkan perdagangan satwa liar yang luas dan sebagian besar tidak terpantau di seluruh dunia telah memperingatkan peningkatan risiko terhadap keanekaragaman hayati dan ketahanan hayati.
Studi ini, yang dilakukan bekerja sama dengan para peneliti dari Australia, Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Amerika Selatan, mengkaji jaringan perdagangan satwa liar global ke AS selama dua dekade, dengan fokus pada asal usul spesies, jumlah yang diperdagangkan, serta pola jalur perdagangannya, menurut siaran pers Universitas Melbourne pada Rabu (12/11).
"Temuan kami menunjukkan bahwa tidak sekadar sejumlah besar spesies masih diambil dari habitat aslinya dan diperdagangkan, tetapi juga terdapat masalah serius terkait informasi data yang salah dan praktik pencucian uang atau perdagangan ilegal yang terang-terangan," kata Profesor Alice Hughes dari Universitas Melbourne, yang memimpin studi yang diterbitkan dalam jurnal Current Biology tersebut.
Meskipun volume perdagangan global sangat besar, yang diperkirakan mencakup lebih dari 70.000 spesies hewan, Hughes mengatakan data sangat sulit diperoleh dan data yang tersedia banyak mengandung ketidaksesuaian, seraya menyerukan pemantauan yang lebih kuat, berbagi data, serta kolaborasi antara pemerintah, ilmuwan, dan industri.
Para peneliti menyebutkan bahwa wilayah tropis mengekspor jenis satwa liar paling beragam. Spesies langka maupun yang baru ditemukan secara ilmiah, seperti tokek gua, termasuk yang paling diminati. Mereka menambahkan bahwa banyak hewan yang diperdagangkan sudah muncul di pasar hanya dalam waktu setahun sejak pertama kali dideskripsikan secara ilmiah.
Para peneliti memperingatkan bahwa perdagangan satwa liar menimbulkan ancaman serius terhadap biosekuriti, seperti impor hama dan patogen serta spesies yang dapat menjadi invasif.
Mereka menyoroti penyebaran Chytrid, penyakit jamur mematikan yang telah menyebabkan punahnya sejumlah spesies katak, yang kemungkinan besar ditularkan melalui perdagangan katak Xenopus.
Pewarta: Xinhua
Editor: Indra Arief Pribadi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

















































