Studi CELIOS ungkap 23.472 desa punya potensi restoratif tinggi

3 days ago 3
Kebijakan pemerintah yang mendorong swasembada pangan justru seringkali melahirkan swasembada semu, malah merusak lingkungan dan tidak berpihak pada masyarakat serta komoditas lokal.

Jakarta (ANTARA) - Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkapkan bahwa 23.472 desa di Indonesia memiliki potensi restoratif yang tinggi, yang berarti menandakan ekosistem kuat namun membutuhkan pengelolaan yang bijak demi keberlanjutan jangka panjang.

Laporan CELIOS bertajuk “Membangun Ekonomi Restoratif di Desa: Solusi Melawan Janji Semu Swasembada” menyoroti pentingnya ekonomi restoratif sebagai solusi atas degradasi lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali.

Direktur Kebijakan Publik CELIOS Media Wahyudi Askar menilai bahwa kebijakan swasembada pangan yang selama ini didorong oleh pemerintah justru seringkali berujung pada kerusakan lingkungan dan pengabaian terhadap peran masyarakat lokal.

“Kebijakan pemerintah yang mendorong swasembada pangan justru seringkali melahirkan swasembada semu, malah merusak lingkungan dan tidak berpihak pada masyarakat serta komoditas lokal. Program food estate di Kalimantan Tengah, NTT, Merauke misalnya, tampak ‘dibuat untuk gagal’ karena tidak mempertimbangkan aspek ekologis, sosial, dan ekonomi secara menyeluruh,” kata Media, di Jakarta, Selasa.

Dalam studinya, CELIOS mengidentifikasi bahwa 95,40 persen desa masih memiliki inisiatif rendah dalam mendukung agenda ekonomi restoratif.

Minimnya kesadaran dan kurangnya aksi proaktif dari pemerintah maupun masyarakat menjadi kendala utama dalam implementasi konsep ini. Padahal, ekonomi restoratif menawarkan pendekatan yang dapat menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian ekologi.

Penelitian ini mengidentifikasi 14 provinsi yang berpotensi menjadi pionir dalam ekonomi restoratif dengan menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan kelestarian ekologi.

Komoditas utama yang dapat dikembangkan mencakup karet, palawija, dan perikanan tangkap, yang apabila dikelola secara berkelanjutan dapat menjadi pilar ekonomi berbasis restorasi lingkungan.

Studi ini juga menyebut bahwa sebanyak 56,65 persen desa tidak memiliki mata air, menunjukkan bahwa eksploitasi sumber daya yang tidak bertanggung jawab dapat memperburuk krisis air bersih.

Selain itu, lebih dari 14 persen desa berbatasan langsung dengan laut, dan 24,11 persen berada di dalam atau sekitar kawasan hutan. Tanpa tindakan konkret, kerusakan ekosistem dapat berdampak luas terhadap kehidupan jutaan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam ini.

Selanjutnya, laporan ini juga menyoroti tantangan besar yang dihadapi oleh 23.653 desa yang mengalami masalah serius akibat praktik ekonomi yang merusak. Jika tidak segera ditangani, degradasi ekosistem akan semakin parah, mengancam kesejahteraan masyarakat dan sumber daya alam Indonesia.

Dengan temuan ini, CELIOS menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat lokal, dan sektor swasta dalam mengembangkan ekonomi restoratif.

Restorasi ekosistem bukan hanya menjadi tanggung jawab masyarakat lokal, tetapi juga memerlukan dukungan kebijakan yang kuat serta kolaborasi berbagai pihak.

Dengan lebih dari 85 persen sumber penghasilan masyarakat Indonesia bergantung pada sektor alam seperti pertanian, kehutanan, dan perikanan, pendekatan ekonomi restoratif menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.

Para peneliti CELIOS mendorong kebijakan yang mempertimbangkan daya dukung ekosistem agar praktik ekonomi tidak lagi berujung pada krisis ekologis dan ketimpangan sosial.

"Ekonomi restoratif hadir dengan mendahulukan restorasi lingkungan, kemudian diikuti dengan pengelolaan potensi ekonomi desa yang bisa berdampingan dengan alam dan menyejahterakan. Temuan bahwa separuh lebih desa di Indonesia tidak memiliki mata air di tengah kerusakan sumber mata air yang dirusak pertambangan, seperti nikel di Sungai Sagea Halmahera dan aliran Sungai Petapahan Riau yang dihancurkan sawit dan illegal logging, menjadikan paradigma baru ini urgent untuk diinisiasi,” ujar Peneliti CELIOS Jaya Darmawan.

Banyak masyarakat belum menyadari bahwa mereka memiliki potensi besar dalam sumber daya alam yang ada di sekitar mereka.

Peneliti CELIOS Galau D Muhammad menilai ekonomi restoratif mengajarkan bahwa dengan memulihkan ekosistem yang rusak, menjaga harmoni dengan alam, dan menghidupkan kembali praktik-praktik tradisional yang berakar pada kearifan lokal dapat membangun jembatan menuju kemandirian ekonomi.

"Program swasembada nasional yang dipraktikkan saat ini hanya terlihat simbolik dan dipenuhi gimmick re-sentralisasi tata kelola sumber daya semata. Alih-alih berdikari dengan produksi domestik, kebijakan swasembada ala pemerintah yang invasif kian jauh memunggungi kultur keberlanjutan lokal dan tak menyisakan apa pun untuk generasi ke depan. Melihat potensi ekonomi restoratif yang terbentang luas di setiap desa, kehadiran pemerintah akan menjadi progres nyata dan keberpihakan negara pada lingkungan yang lebih elegan," ujar Galau.

Untuk itu, langkah-langkah konkret harus segera diambil guna meningkatkan kesadaran, membangun kebijakan yang tepat, dan menciptakan ekosistem ekonomi restoratif yang berkelanjutan bagi masa depan Indonesia.

Baca juga: Kadin berupaya tingkatkan pembangunan berkelanjutan di desa terdepan

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |