Jakarta (ANTARA) - Platform omnichannel berbasis kecerdasan buatan (AI), SleekFlow menilai bahwa masyarakat tidak sekadar membutuhkan teknologi AI yang cepat, melainkan bisa dipercaya dan tidak asal menjawab pertanyaan atau permintaan pengguna.
Untuk itu, SleekFlow memperkenalkan sistem AI AgentFlow yang "tidak dirancang untuk menjawab semua permintaan pengguna", melainkan mampu berhenti menjawab demi memberikan ruang kepada pengguna AI.
“Kesalahan dalam layanan pelanggan tidak selalu soal teknologi, tapi tentang hubungan. Karena itu, AgentFlow dibuat untuk membantu, bukan menggantikan manusia sepenuhnya,” ujar VP & GM SleekFlow Asia Tenggara Asnawi Jufrie dalam siaran pers pada Senin.
Baca juga: Pemerintah ingin industri jadi bagian ekosistem pengembangan AI
Dalam whitepaper yang diterbitkan SleekFlow berjudul “AI Transformation in SEA: Aligning Consumer Demands with Business Goals” yang melibatkan 1.100 responden Asia Tenggara ditemukan bahwa 75 persen responden memilih AI untuk mendukung, bukan AI yang menggantikan peran manusia.
AI memang dipercaya untuk urusan praktis, misalnya untuk mencari informasi dasar terkait sesuatu. Namun, untuk beberapa kasus yang bersifat sensitif, pertanyaan kompleks, hingga percakapan emosional, ternyata responden lebih memilih untuk berinteraksi dengan manusia.
AI tidak asal respons
AgentFlow dihadirkan bukan sebagai fitur tambahan, melainkan kerangka etis di mana AI tidak boleh asal dalam merespons pertanyaan pengguna. Melalui AgentFlow, AI akan bekerja dalam batas dan tanggung jawab yang jelas.
“Kepercayaan itu tumbuh saat kita tahu batas kemampuan kita. Kami percaya, AI yang bisa dipercaya adalah AI yang tahu kapan harus berhenti dan memberi ruang untuk manusia. AgentFlow lahir dari prinsip itu,” ujar Asnawi Jufrie.
AgentFlow bekerja dengan pendekatan multi-agent dan modul berbasis graf antara lain:
- Knowledge Gap Detection yang memungkinkan sistem mendeteksi saat AI tidak yakin dengan jawabannya, dan memilih untuk berhenti alih-alih memberi informasi yang salah.
- Reviewer Agents sebagai sistem yang meninjau ulang jawaban sebelum sampai ke pelanggan.
- Guardrails sebagai mekanisme pengaman yang menjaga agar AI tidak menjawab topik-topik sensitif yang di luar kapasitasnya, dan langsung mengarahkan ke tim manusia bila diperlukan.
- Custom Instruction yang memastikan setiap agen AI hanya menjawab sesuai peran dan konteks yang sudah ditentukan oleh bisnis, misalnya sebagai sales, support, atau admin.
Menurut laporan AI Maturity Matrix oleh Boston Consulting Group (BCG), lebih dari 70 persen negara termasuk Indonesia belum memiliki kesiapan struktural untuk menghadapi disrupsi AI, termasuk dalam aspek keterampilan, kebijakan, dan investasi jangka panjang.
Laporan yang sama juga mencatat bahwa penggunaan AI secara kolaboratif justru lebih efektif, misalnya konsultan BCG yang menggunakan GenAI terbukti 20 persen lebih baik performanya saat menjalankan tugas di luar keahlian mereka.
Temuan-temuan itu sejalan dengan keyakinan SleekFlow bahwa AI yang bertanggung jawab harus memberi ruang bagi supervisi serta tetap dikontrol oleh manusia.
Untuk teknologi, AgentFlow dibangun di atas Azure OpenAI dan mematuhi berbagai standar keamanan internasional, termasuk ISO/IEC 27001, SOC 2 Type II, dan GDPR.
SleekFlow memastikan bahwa sistem ini tidak menggunakan data pelanggan untuk melatih model AI, namun dilengkapi pengamanan tambahan seperti access control, masking, serta whitelisting IP. Semua fitur itu dirancang untuk menjaga privasi dan memberi ketenangan bagi pengguna saat berinteraksi dengan AI.
Baca juga: Meta akuisisi startup pengembang teknologi peniru suara Play AI
Baca juga: Microsoft mengaku bisa menghemat banyak berkat AI
Baca juga: Kemkomdigi sebut regulasi AI masuk tahap legislasi pada Agustus 2025
Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.