Jakarta (ANTARA) - Anggota MPR RI yang juga anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan mengajak krisis beras oplosan yang mencuat beberapa waktu belakangan tidak hanya dilihat sebagai sekedar persoalan kecurangan bisnis, melainkan momentum untuk melakukan perombakan struktur industri beras nasional.
Menurut dia, polemik itu membuka peluang redistribusi kekuatan ekonomi dari segelintir konglomerat besar kepada pelaku usaha kecil, terutama penggilingan padi rakyat.
"Ketika pengusaha penggilingan besar mengancam menghentikan operasi, saya justru melihat ini sebagai berkah tersembunyi. Saatnya kita memilih, mempertahankan oligopoli atau merebut kembali kedaulatan pangan melalui pemberdayaan lebih dari 161 ribu penggilingan padi rakyat," kata Johan dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Dia menilai struktur industri penggilingan padi Indonesia mengidap penyakit kronis dengan terjadi ketimpangan ekstrem, di mana 161.401 penggilingan kecil yang merupakan 95,1 persen dari total unit hanya menguasai 40-45 persen kapasitas pemrosesan.
Sementara itu, kata dia, segelintir penggilingan besar yang jumlahnya tak lebih dari lima persen menguasai mayoritas akses pasar premium dan distribusi.
"Paradoks ini mencerminkan distorsi ekonomi yang telah berlangsung puluhan tahun," ujarnya.
Dia pun memandang kondisi tersebut bukan terjadi secara alamiah, melainkan diakibatkan oleh kebijakan yang cenderung berpihak pada pemodal besar, misalnya syarat modal minimal Rp2,5 miliar untuk perizinan usaha pertanian.
Selain itu, lanjut dia, aturan harga eceran tertinggi (HET) yang menekan margin, akses terbatas ke Bulog dan jaringan ritel modern, hingga sistem sertifikasi kualitas yang mahal membuat penggilingan rakyat sulit menembus pasar premium.
“Ironisnya, justru penggilingan besar ini yang terlibat dalam skandal beras oplosan,” ucapnya.
Baca juga: Soal beras oplosan, pemerintah tegaskan lindungi penggilingan kecil
Dia mengatakan kondisi tersebut tak pelak memunculkan dampak sosial-ekonomi yang dirasakan masyarakat, seperti 10 dari 23 penggilingan rakyat di Karawang, Jawa Barat, terpaksa tutup karena tak mampu bersaing.
"Kondisi ini mengakibatkan petani kehilangan akses penggilingan terdekat dan memicu antrean panjang pada musim panen," tuturnya.
Di sisi lain, Johan menilai ancaman mogok dari penggilingan besar justru menjadi peluang membuka lapangan kerja baru bila produksi kemudian dialihkan ke penggilingan kecil maka potensi serapan tenaga kerja mencapai 180–220 ribu pekerjaan langsung dan hingga 440 ribu pekerjaan tidak langsung.
“Penggilingan kecil memberi multiplier effect ekonomi lokal yang lebih besar. Uang berputar di desa, membeli gabah dari petani sekitar, membayar buruh lokal, dan memakai jasa transportasi setempat,” katanya.
Ia lantas mencontohkan distribusi penggilingan kecil lebih merata hingga ke pelosok, seperti di Sulawesi Selatan yang memiliki ribuan unit untuk melayani petani di daerah terpencil.
Dia pun menyebut sejumlah negara Asia telah menerapkan model pemberdayaan penggilingan kecil, seperti Vietnam yang menghubungkan 1,5 juta petani ke jaringan pemrosesan lewat koperasi, dan Thailand yang mengembangkan sistem “rice doctor” untuk meningkatkan kualitas produksi lokal.
Lebih lanjut, dia mengatakan tantangan efisiensi, seperti tingkat rendemen yang sedikit lebih rendah pada penggilingan kecil, dapat diatasi dengan modernisasi teknologi.
Menurut dia, investasi sebesar 1–1,5 miliar dolar atau setara 3–4 bulan subsidi pupuk disebut mampu memodernisasi penggilingan rakyat.
"Program EU-SWITCH Asia di Jawa Timur dan Jawa Tengah menjadi contoh, di mana 150 penggilingan kecil yang beralih dari mesin diesel ke listrik berhasil meningkatkan produktivitas 15–20 persen dan menghemat biaya operasional," ucapnya.
Berkaca pada kondisi di atas, Johan menegaskan pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki pilihan historis untuk membiarkan oligopoli terus menguat atau memanfaatkan krisis guna melakukan redistribusi ekonomi terbesar di sektor pangan.
“Presiden sudah berulang kali menegaskan komitmen terhadap ekonomi kerakyatan. Momentum ini tidak akan datang dua kali,” ujarnya.
Dia lantas berkata, "Jika peluang ini terlewat, konglomerat besar akan segera pulih dan memperkuat dominasi. Sejarah akan mencatat apakah kita memilih rakyat atau oligarki, dan rakyat tidak akan melupakan pilihan itu."
Ia pun mengusulkan langkah konkret seperti moratorium penegakan hukum sementara untuk penggilingan kecil, program modernisasi teknologi massal, serta penguatan koperasi penggilingan.
“Negara-negara tetangga sudah membuktikan ini bisa berhasil. Yang kita butuhkan hanya kemauan politik untuk memulai,” kata Johan.
Baca juga: Satgas Pangan Polda Metro Jaya sidak gudang beras di Cakung Jaktim
Baca juga: Mentan sebut penindakan beras oplosan picu struktur pasar yang baru
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.