Jakarta (ANTARA) - Memperoleh gambaran pasti soal relevansi manusia di hadapan kemajuan teknologi tampaknya tak mudah.
Ada pendapat kuat dari satu kelompok masyarakat - bahkan representasi pandangan besar masyarakat- yang yakin bahwa sampai kapan pun, manusia tak bakal tergantikan mesin. Bahkan yang berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), paling cerdas pun.
Pengembangan perangkat cerdas ini memang melaju sangat cepat. Dalam tahap intensif menyingkap dan mereplikasi sisi emosional, intuitif, maupun konteks budaya yang melatarbelakangi nuansa manusia. Namun peluangnya ada di antara harapan atau kemustahilan.
Banyak uraian-uraian senada soal kekokohan kedudukan manusia itu. Salah satunya dikemukakan Bernard Marr, 2024, pada artikelnya ”AI Won't Replace Humans – Here's The Surprising Reason Why”.
Pada tulisan itu Marr berargumentasi bahwa otak manusia merupakan sistem pemrosesan informasi yang komplek juga efisien. Jika dibandingkan, perangkat berbasis AI yang mampu memproses hingga petabyte data lengkap dengan pengenalan polanya, masih kalah kemampuannya dari manusia dalam memahami nuansa.
Juga ketika dihadapkan pada realitas yang tak tampil nyata, konteksnya berbeda, apalagi jika harus membuat lompatan intuitif akibat terbatasnya data. Seluruh kemampuan komputasi AI itu tak mampu, alih-alih melampaui, menirukan kecerdasan manusia jenis itu.
Pemahaman nuansa yang dimaksud Marr contohnya AI mampu menilai situasi emosi, dari ekspresi wajah. Tapi sedalam apa situasi emosi itu, tak dapat dinyatakan dengan pasti. Mengandalkan neuroscience, sensor AI dapat melacak perbedaan senang dari sedih. Namun seberapa senang dan seberapa sedih seseorang, tak dapat dipastikan.
Pernyataan AI sebatas epiphenomena, gejala permukaan. Padahal terbedakannya nuansa emosi merupakan hal penting, dalam pengambilan keputusan. Misalnya saat menentukan jenis penanganan pemulihan pasien gangguan mental. Seberapa terganggunya, harusnya dapat dipastikan. Ini mestinya, mengandalkan AI dalam membaca nuansa wajahnya.
Demikian pula saat membaca hasrat konsumen. Ekspresi wajah yang mendambakan suatu produk, mestinya dapat dibedakan dari yang sekedar menginginkan.
Keterbatasan-keterbatasan itu bisa diartikan belum tereplikasinya seluruh kecerdasan manusia, alih-alih menggantikannya oleh AI.
AI ‘baru’ jadi perangkat augmentasi, yang mengekstensi kemampuan manusia. Walaupun pada tulisan yang lain, “The Third Wave of AI Is Here: Why Agentic AI Will Transform the Way We Work”, Bernard Marr yang mengutip pendapat Silvio Savarese, Wakil Presiden Eksekutif dan Kepala Ilmuwan Salesforce AI Research, menyebut perkembangan AI hari ini ada di gelombang ketiga.
Adapun pembagiannya: gelombang awal, merupakan perkembangan AI prediktif. Pada perkembangan awal ini, AI memfasilitasi bisnis untuk memprediksi kecenderungan, berikut diambilnya keputusan berdasarkan data.
Gelombang awal ini diikuti gelombang kedua yang menghadirkan Generatif AI. AI jenis ini mampu menghasilkan konten dan berelasi dengan manusia. Baik AI di gelombang awal maupun gelombang kedua, kemampuannya menyarankan dan mendukung pekerjaan manusia.
Karena di dua gelombang itu AI bersifat membantu, maka patut disebut sebagai Assistant AI.
Sedangkan di gelombang ketiga sekarang ini, yang mulai marak digunakan adalah Agentic AI. AI yang mampu menjalankan tugas mandiri sebagai agen, dan berinteraksi dengan Agentic AI lainnya. Namun demikian Marr masih tetap pada pendapatnya semula: AI ‘hanya’ mentransformasi cara manusia bekerja, bukan menggantikannya.
Sedangkan optimisme yang memprediksi kecerdasan AI dapat mencapai kesempurnaan kecerdasan alami manusia menyebutkan, alih-alih AI menggantikan manusia di masa depan, saat ini proses irelevansi manusia itu sedang berlangsung.
Optimisme yang dilontarkan juga mengemukakan keberadaan Agentic AI. AI yang secara mendasar, berbeda dengan Assistant AI. Agentic AI mampu bertindak dan berelasi dengan Agentic AI lainnya, sedangkan Assistant AI lebih bersifat menyarankan. Sependapat dengan itu, Dean DeBiase, 2024, dalam “How Agentic AI Will Turn Your Life and Workplace Upside-down” menyebut, yang membedakan Agentic AI dari jenis sebelumnya pada sifat independensinya.
Agentic AI bertindak mandiri, punya fungsi yang lebih luas dalam menangani tugas dan memiliki kemampuan mengadaptasi lingkungan yang kompleks. Karenanya, AI jenis ini dapat bertindak tanpa manusia dan kehadirannya bakal menjungkirbalikkan kehidupan maupun tempat kerja.
Seluruhnya itu terjadi, ~DeBiase yang mengutip riset Gartner~ lantaran di tahun 2028, 33 persen perusahaan dunia bakal diberdayakan operasionalnya oleh Agentic AI. Angka ini mengalami kenaikan sebesar 1 petsen, dibanding tahun 2024. Manusia, walaupun belum seluruhnya, bakal tergerus besar-besaran perannya. AI memaksanya jadi irelevan.
Keistimewaan Agentic AI tak berhenti sebatas itu. Sebagaimana manusia cerdas yang terus belajar kemampuannya meningkat. Ini didorong oleh ketersediaan informasi yang dapat diolah, dianalisa dan diubah sebagai pengetahuan yang diperlukan dalam operasi perusahaan. Kecerdasannya yang melampaui Assistant AI, seiring akses data yang dapat dimanfaatkannya. Seluruhnya didorong oleh sistem informasi yang semula terisolasi jadi terbuka.
Ilustrasi beroperasinya Agentic AI adalah operasi mobil tanpa pengemudi. Sebagai agen yang berbasis kecerdasan jenis ini, mobil mampu menilai situasi secara real time seraya melakukan adaptasi yang diperlukan.
Mobil memulai operasi dengan pemeriksaan kecukupan energi penggerak, memastikan keamanan dan kenyamanan di dalam kabin, penyesuaian kecepatan berdasar situasi jalan raya, juga berinteraksi dengan penumpang untuk memastikan kenyamanannya. Dalam hal terjadinya keadaan genting, dipilih tindakan untuk menghindari kecelakaan. Kalaupun terdapat situasi tak terelakkan, dalam waktu sangat cepat dipilih tindakan yang meminimalkan kerugian.
Dalam relasinya dengan agen berkecerdasan lain mobil Agentic AI ini mampu ‘berkoordinasi’ untuk tak berada di ruang yang sama di waktu yang sama. Sebab jika itu terjadi, artinya bertabrakan. Sistem informasi yang terjejaring antar mobil Agentic AI, mampu menghindarkannya dari situasi macet atau keadaan tak efisien lainnya. Seluruhnya berbeda ketika kendaraan dioperasikan oleh manusia, dengan sistem informasi yang tak terjejaring. Kehendak otonom masing-masing pengemudi, dapat mengantarnya pada situasi kecelakaan atau macet yang berkepanjangan.
Sifat agen dari perangkat ini, lazim dimanfaatkan di bidang robotika maupun kendaraan tanpa pengemudi. Seluruhnya diilustrasikan oleh Gareth Davie dan Aline Bessa, 2024, dalam “What is Agentic AI? Definition, Features, and Governance Considerations”.
Disebutkannya, mobil self-driving yang mampu bertindak lazimnya agen mandiri, lantaran kemampuannya mengambil data lingkungan dan menerapkannya sebagai tindakan penyelamatan, jika diperlukan.
Penerapan pada kendaraan otonom yang dilakukan jauh sebelum munculnya istilah Agentic AI masih terbatas tingkat keagenannya. Sistem yang terbatas itu dalam mengambil keputusan, masih didasarkan pada aturan atau kehendak yang ditetapkan oleh manusia. Tak sepenuhnya bersifat agen yang mandiri.
Bagaimana Agentic AI berinteraksi dengan data, memanfaatkannya membentuk informasi, hingga memunculkan karakterisik agen yang mandiri, diuraikan Erik Pounds, 2024, dalam “What Is Agentic AI?”.
Prosesnya terdiri dari empat langkah, dalam pemecahan masalah. Pertama, Perceive. Pada langkah ini Agentic AI mengumpulkan dan memproses data yang berasal dari berbagai sumber. Ini termasuk sensor, basis data, maupun antarmuka digital, seperti aplikasi dalam kehidupan rutin. Pada langkah mempersepsi ini, terjadi ekstraksi fitur yang bermakna, pengenalan objek, juga identifikasi entitas yang relevan di lingkungan.
Pada pengaplikasian di kendaraan tanpa pengemudi, berupa dikenalinya kendaraan lain, pejalan kaki, lebar jalan, rata-rata kecepatan kendaraan lain. Seluruhnya dikaitkan jarak yang harus ditempuh, untuk mencapai tujuan.
Kedua, pemberian alasan. Model bahasa yang besar (large language model/LLM) mengatur, menalar, memahami tugas, memberikan solusi, dan mengoordinasikan aneka untuk dipilih.
Pada kendaraan tanpa pengemudi, alternatif itu misalnya pilihan menempuh rute yang panjang namun lancar, atau rute pendek tapi lebih macet. Kecepatan tiba di tujuan, atau optimalisasi penggunaan energi yang dipertimbangkan pengguna kendaraan.
Ketiga, penentuan tindakan. Dengan mengintegrasikan dengan hardware dan software, juga yang ada di lingkungan eksternal, terjadi kordinasi antarmuka program aplikasi. Agentic AI pada ilustrasi kendaraan tanpa pengemudi, dengan cepat menjalankan tugas berdasarkan rencana yang telah dirumuskannya.
Perangkat evaluasi juga disertakan pada Agentic AI untuk memastikan agen menjalankan tugas dengan benar. Misalnya, dalam hal beroperasinya kendaraan Agentic AI lain, di jalan raya yang sama, akan dikoordinasikan kecepatan masing-masing kendaraan dengan aman.
Dan keempat, mempelajari. Kemampuan AI Agentik terus meningkat melalui siklus umpan balik, atau aliran data besar yang digunakan sebagai bahan belajar. Data yang dihasilkan dari interaksi dimasukkan ke dalam sistem, untuk menyempurnakan model. Kemampuan berkembang dari waktu ke waktu. Seluruhnya menawarkan perangkat ampuh untuk pengambilan keputusan yang jitu.
Dari aneka argumentasi para ahli itu di atas, juga penjelasan mekanisme yang mudah dipahami, Agentic AI bukan keajaiban peradaban. Pengembangannya yang simultan meletakkan AI pada kecanggihan termutakhir. Agentic AI bukan lagi bayangan masa depan, namun keberadaannya sudah terlihat di depan mata.
*) Dr. Firman Kurniawan S adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, Pendiri LITEROS.org
Copyright © ANTARA 2025