Mataram (ANTARA) - Setiap pagi, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), memulai harinya dengan ritme yang sama dengan kota-kota lain, yakni deru kendaraan yang merayap perlahan di ruas-ruas jalan utama.
Di Jalan Pendidikan yang menjadi poros tiga sekolah sekaligus, antrean motor orang tua mengular bak gerbong tak berujung. Pukul 06.50 WITA, suara klakson bertalu-talu saat para siswa berhamburan turun tepat di depan gerbang.
Di antara keramaian itu, Silmi, siswi kelas VIII SMPN 7 Mataram, biasanya tiba dengan langkah cepat dan napas tersengal. Rumahnya di Karang Anyar cukup jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki, tetapi ia tak punya pilihan lain selain berangkat lebih awal dari teman-temannya.
Kini, perubahan itu datang. Sejak transportasi gratis Trans Bening diuji coba, Silmi tak lagi tiba dengan wajah lelah. “Tidak capek lagi,” ujarnya dengan santai.
Ia kini duduk di salah satu bemo kuning, sebutan setempat untuk angkutan kota, yang datang teratur setiap siang, mengantar murid pulang sesuai rute. Bagi sebagian siswa, Trans Bening mungkin hanya fasilitas transportasi.
Namun bagi Silmi dan ratusan siswa lain, layanan itu menjelma menjadi jembatan menuju sekolah yang lebih ramah, tertib, dan setara.
Kota Mataram tengah menguji sebuah ide besar bahwa akses pendidikan yang baik tidak hanya soal ruang kelas dan kurikulum, melainkan juga soal perjalanan menuju dan pulang dari sekolah.
Di tengah kemacetan
Kepadatan lalu lintas di Mataram bukan cerita baru. Pada jam sekolah, kemacetan dapat muncul di ruas-ruas seperti Jalan Udayana, Pejanggik, Bung Karno, hingga Adi Sucipto. Titik-titik ini merupakan simpul sekolah yang setiap hari menjadi magnet ratusan kendaraan pribadi.
Data Dinas Perhubungan Kota Mataram menunjukkan pola yang konsisten yakni lonjakan kendaraan terjadi pada pukul 06.30–07.00 dan 13.00–14.00 WITA. Penyebab utamanya adalah fenomena antar jemput dengan motor atau mobil pribadi.
Dalam konteks kota dengan pertumbuhan kendaraan lebih cepat dari ketersediaan jalan, kondisi ini melahirkan persoalan ganda, yakni kemacetan dan tingginya risiko keselamatan pelajar.
Maka Dishub meluncurkan inovasi berupa Trans Bening, transportasi sekolah gratis berbasis bemo kuning, moda yang pernah berjaya pada 1980-an.
Program ini bukan sekadar romantisme masa lalu. Ia diciptakan sebagai solusi yang menautkan kebutuhan pelajar, kemacetan kota, dan pemberdayaan sopir lokal.
Program tersebut telah diuji coba sejak Oktober 2024 dengan mengoperasikan sepuluh bemo kuning khusus untuk SMPN 7 Mataram.
Lokasi ini dipilih karena dua alasan, yakni tingkat kemacetan yang tinggi akibat banyaknya siswa diantar orang tua, serta ketersediaan area parkir yang memadai untuk manuver bemo.
Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































