Refleksi HARDIKNAS 2025: Menjaga integritas pendidikan

12 hours ago 8
Pendidikan yang belum menyentuh pembinaan sikap hidup yang baik dan tepat adalah pendidikan yang belum selesai.

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional, di usia ke-80 kemerdekaan RI, mengusung tema "Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua", menyerukan kolaborasi untuk mencapai cita-cita luhur pendidikan.

Tema ini mengajak seluruh elemen bangsa untuk berkolaborasi dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan relevan bagi setiap anak Indonesia.

Namun, di tengah semangat perayaan dan harapan akan kemajuan, kita dihadapkan pada ironi yang mengkhawatirkan yaitu merosotnya integritas pendidikan nasional.

Data Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2024 yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan skor 69,50, sebuah penurunan signifikan dari angka 73,7 pada 2023.

Fakta bahwa SPI Pendidikan menjangkau 36.888 satuan pendidikan di 507 kabupaten/kota dari 38 provinsi, melibatkan 449.865 responden dari berbagai kalangan, semakin memperkuat validitas dan signifikansi temuan ini.

Penurunan ini menempatkan integritas pendidikan kita pada level "koreksi," mengindikasikan bahwa internalisasi nilai-nilai integritas belum berjalan secara merata, konsisten, dan optimal, sebagaimana diungkapkan oleh KPK.

Lebih jauh, temuan KPK memaparkan gambaran yang memprihatinkan: praktik menyontek masih merajalela di 78 persen sekolah dan mencengangkan di 98 persen kampus. Masalah ketidakdisiplinan akademik juga mengakar kuat, dialami oleh 45 persen siswa dan 84 persen mahasiswa.

Bahkan, praktik gratifikasi yang mencederai integritas masih ditemukan di 22 persen sekolah, di mana guru menerima "bingkisan" dengan imbalan nilai yang lebih baik atau kelulusan siswa.

Kondisi ini menyiratkan bahwa esensi luhur pendidikan perlahan terkikis, tergerus oleh pragmatisme sesaat dan obsesi pada formalitas belaka. Masyarakat, pendidik, dan peserta didik terperangkap dalam pusaran hasil instan dan pemenuhan administratif, mengabaikan proses pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai moral yang sejati.

Baca juga: Mematangkan kemampuan kolaboratif, bukan sekadar kemampuan akademik

Menyikapi kemerosotan integritas ini, kita mendapati diri kita di persimpangan jalan, dipanggil untuk melakukan refleksi mendalam terhadap sistem pendidikan yang kita anut.

Pertanyaan-pertanyaan filosofis mendasar kembali mengemuka: Apakah hakikat pendidikan yang sesungguhnya? Apa tujuan mulia yang ingin kita capai melalui pendidikan? Dan yang paling mendasar, apakah institusi pendidikan kita saat ini lebih berfungsi sebagai sekadar "lembaga pengajaran" ataukah telah menjelma menjadi "lembaga pendidikan" yang sesungguhnya?

Kembali pada khazanah pemikiran pendidikan

Para pemikir klasik telah mewariskan perspektif mendalam tentang esensi pendidikan. Plato (428-348 SM) meyakini bahwa pendidikan adalah proses holistik yang bertujuan untuk mengembangkan karakter dan kecerdasan individu secara seimbang, menghantarkannya pada pemahaman tentang kebaikan dan kebenaran. Ia menekankan harmoni antara perkembangan fisik, intelektual, dan moral sebagai fondasi utama.

Di sisi lain, Aristoteles (384-322 SM), murid setia Plato, berpandangan bahwa tujuan akhir pendidikan adalah mencapai eudaimonia, atau kehidupan yang sejahtera dan bermakna, melalui pengembangan akal budi dan kebajikan. Baginya, pendidikan harus relevan dengan realitas kehidupan, memantik potensi unik setiap individu menuju aktualisasi diri, serta menanamkan kebajikan moral melalui pembiasaan yang konsisten.

Dari khazanah pemikiran lokal, Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) dengan gemilang merumuskan bahwa pendidikan harus memerdekakan, berpusat pada peserta didik, dan selaras dengan akar kebudayaan bangsa.

Konsep-konsep luhur seperti among (memimpin, mengasuh, dan membimbing dengan kasih sayang), tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing ngarsa sung tulada (di depan memberi teladan), dan ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan semangat) menjadi landasan filosofis yang tak lekang oleh waktu (dalam Kenji Tsuchiya, 1988).

Baca juga: Presiden luncurkan renovasi sekolah hingga bantuan guru saat Hardiknas

Sungguh relevan pemikiran para tokoh ini dengan konteks pendidikan kita. Bahkan, hakikat pendidikan yang ideal telah terakomodasi dalam regulasi formal negara.

Disparitas regulasi dan realitas lapangan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi peserta didik secara menyeluruh, mencakup kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Lebih lanjut, Pasal 3 dengan tegas menggarisbawahi fungsi pendidikan nasional dalam membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, dengan tujuan menghasilkan insan Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.

Ironisnya, realitas di lapangan seringkali bertolak belakang dengan cita-cita luhur ini. Usaha pendidikan di berbagai tingkatan cenderung lebih terfokus pada transfer ilmu pengetahuan dan pengembangan keterampilan kognitif, sementara pembinaan sikap hidup dan karakter belum mendapatkan penekanan yang proporsional dan sistematis.

Pada hakikatnya, usaha pendidikan adalah spektrum kegiatan yang luas, meliputi pemeliharaan dan pengasuhan di usia dini, pembiasaan nilai dan perilaku positif, pengajaran (transfer pengetahuan, keterampilan, nilai, dan pemahaman hidup), hingga puncak tertinggi, yaitu pembinaan sikap hidup.

Pengamatan terhadap praktik pendidikan sehari-hari di banyak institusi menunjukkan dominasi paradigma pengajaran yang menekankan pada aspek kognitif dan psikomotorik, seringkali mengabaikan dimensi afektif yang krusial.

Manusia dilahirkan dalam keadaan tabula rasa, sangat bergantung pada lingkungan untuk tumbuh dan berkembang. Proses pemeliharaan, perawatan, dan pengasuhan adalah fondasi awal yang tak tergantikan.

Namun, ini saja belum cukup. Penanaman pembiasaan berperilaku baik, jujur, rukun, dan memiliki tenggang rasa menjadi tahapan penting berikutnya dalam membentuk karakter.

Pengalaman penulis di bangku sekolah dasar, di mana pembelajaran seringkali didominasi oleh aktivitas mencatat dan menghafal materi, menjadi ilustrasi bagaimana pengajaran dapat terjebak pada transfer pengetahuan tanpa kedalaman pemahaman dan internalisasi nilai.

Sementara itu, contoh pembelajaran di tingkat menengah kejuruan yang berorientasi pada keterampilan praktis menunjukkan pentingnya aspek keterampilan, namun seringkali mengabaikan konteks etika dan tanggung jawab profesional.

Transfer nilai dan pemahaman hidup, seperti nilai-nilai Pancasila dan norma sosial, juga merupakan bagian integral dari pendidikan. Namun, implementasinya seringkali berhenti pada tataran kognitif, di mana peserta didik sekadar mengetahui dan menghafal, tanpa penghayatan dan implementasi dalam perilaku sehari-hari.

Baca juga: BRIN: Pemerintah telah serius membenahi sektor pendidikan Indonesia

Membangun pilar sikap hidup

Kegiatan pendidikan yang paling esensial sekaligus paling menantang adalah membina sikap hidup. Inilah kulminasi dari seluruh usaha pendidikan. Tanpa tercapainya pembinaan sikap hidup yang baik dan tepat, keberhasilan pendidikan secara holistik patut dipertanyakan.

Sikap hidup, sebagaimana didefinisikan oleh Alex Lanur (2019), adalah kecenderungan batin yang menetap dan secara konsisten mengarahkan seseorang untuk memilih kebaikan dalam berbagai situasi kehidupan. Proses pembentukannya berlangsung secara bertahap melalui internalisasi nilai, refleksi, dan praktik berulang hingga menjadi otomatis dan mendarah daging.

Senada dengan itu, Zygmunt Bauman (dalam Simbolon, Pormadi 2024) menekankan bahwa akar dari sikap moral individu terletak pada hati nurani, bukan pada paksaan eksternal semata. Pierre Bourdieu dengan konsep habitus-nya juga menyoroti bagaimana struktur sosial dan pengalaman internal membentuk disposisi dan kecenderungan perilaku individu.

Dominannya pendekatan pengajaran yang hanya berfokus pada transfer pengetahuan, keterampilan, nilai, dan pemahaman hidup, tanpa diiringi pembinaan sikap hidup yang mendalam dan berkelanjutan, menjadi salah satu akar permasalahan perilaku-perilaku tidak terpuji yang seringkali kita saksikan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Baca juga: BRIN: Tata ulang orientasi pendidikan penting demi junjung kejujuran

Perbedaan mendasar antara mendidik dan mengajar dapat diilustrasikan melalui analogi sederhana menanam pohon. Mengajar dapat diibaratkan dengan memberikan air, pupuk, dan memastikan pohon mendapatkan sinar matahari yang cukup untuk pertumbuhannya secara fisik. Fokusnya adalah pada pemenuhan kebutuhan fisik dan perkembangan biologis pohon.

Sementara itu, mendidik adalah upaya yang lebih komprehensif, yaitu memastikan pohon tersebut tumbuh menjadi pohon yang kuat, berakar kokoh, tidak mudah tumbang oleh terpaan angin, dan pada akhirnya menghasilkan buah yang lebat dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Fokusnya adalah pada pembentukan karakter, ketahanan, dan kualitas jangka panjang pohon tersebut.

Oleh karena itu, manusia tidak cukup hanya diajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi mutlak perlu dididik agar memiliki karakter kepribadian yang kuat dan sikap hidup yang kokoh.

Tanpa sikap hidup yang baik dan tepat, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, bahkan dapat merugikan orang lain dan lingkungan sekitar.

Sikap hidup yang berlandaskan nilai-nilai luhur dan akhlak mulia menjadi urgensi utama dalam mewujudkan pendidikan berkualitas untuk semua, bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam praktik nyata.

Pendidikan yang belum menyentuh pembinaan sikap hidup yang baik dan tepat adalah pendidikan yang belum selesai, bahkan dapat dikatakan sebagai pendidikan yang kehilangan ruhnya, sekadar pengajaran tanpa esensi mendidik yang sesungguhnya.

Baca juga: UTBK 2025, Hardiknas, dan momen memperkuat karakter pendidikan bangsa

*) Pormadi Simbolon adalah alumnus magister ilmu Filsafat STF Driyarkara, Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Provinsi Banten.

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |