Jakarta (ANTARA) - Pendiri Majelis Hukama Muslimin (MHM) Quraish Shihab mengatakan sebagai fenomena baru, kecerdasan buatan (AI) bisa direspons dengan tiga perspektif, demikian katanya dalam seminar nasional bertajuk "Ketika Ulama Bertemu Algoritma" di kampus UIN Yogyakarta, Selasa.
Pakar ilmu tafsir Al Quran itu menjelaskan AI dapat dilihat dengan pandangan lama, dilihat dengan pandangan baru semata, dan dilihat dengan pandangan baru sambil menyertakan nilai-nilai mapan dari pendapat lama.
“Saya kira cara ketiga inilah yang hendak kita tempuh. Tidak terlepas dari nilai-nilai lama,” ujar Prof Quraish.
Ia menjelaskan AI memberikan informasi yang sangat banyak kepada manusia. Ilmu agama telah menetapkan syarat terkait penerimaan informasi. Ada nilai yang harus diterapkan ketika seseorang sedang melakukan riset atau penelitian.
“Nilai itu dulu ditemukan dalam ilmu hadis, bahwa yang menyampaikan informasi itu harus dilihat apakah orangnya adil, dhabit (dapat dipercaya). Ini yang harus kita terapkan ketika kita memperoleh informasi dari siapapun atau apapun,” kata dia.
Nilai lain yang perlu jadi pertimbangan, kata Quraish, adalah kecerdasan spiritual dan kecerdasan moral. Sebab, dua orang bisa saja memberikan keputusan yang berbeda untuk satu persoalan yang sama.
Baca juga: Komdigi dan ITS bangun AI Talent Factory perkuat talenta digital
Dari situ, menurutnya, ada satu putusan yang dibenarkan, yaitu dari orang yang mendapatkan anugerah dari Tuhan, baik dalam bentuk ilmu, intuisi, atau lainnya.
“Nilai lainnya, keputusan atau jawaban apapun harus disesuaikan dengan masa (waktu) dan penanya tentang apa problemanya. Kalau kita kembali ke Al Quran dan Sunnah, Nabi seringkali memberi jawaban yang berbeda-beda terhadap pertanyaan yang sama,” ujar Quraish
“AI tidak mengenal saya yang bertanya, tidak mengenal problema saya, bagaimana dia mau menjawab dengan tepat,” kata dia menambahkan.
Sementara itu, Anggota Komite Eksekutif MHM TGB Abdul Majdi menggarisbawahi bahwa pembahasan yang berkembang tentang AI itu berkenaan dengan otoritas keagamaan, bukan tentang eksistensi agama. Sebab, eksistensi agama itu terjaga.
Selain itu, AI juga tidak mengganggu eksistensi manusia sebagai khalifah.
“Manusia sebagai jenis makhluk Allah yang diciptakan di dunia ini, dia akan selalu menjadi khalifah, dengan semua makna yang terkandung dalam makna khalifah,” kata TGB.
TGB Zainul Majdi merasa saat ini muncul kekhawatiran manusia, bahwa AI dianggap sebagai ancaman eksistensial. Ada kegundahan bahwa AI akan mengambil alih kemampuan berpikir kreatif.
Baca juga: Telkom: Inovasi AI jadi kebutuhan strategis bagi laju ekonomi digital
“Hayawanun Nathiq dalam konsep Islam itu tidak hanya berpikir kreatif dalam konsep kognisi, tapi juga hikmah, spirituality. Jadi hayawanun nathiq bukan hanya kemampuan kognisi yang mungkin kita sudah kalah dari AI, tapi ada kemampuan lain yang disiapkan oleh Allah untuk manusia miliki sebagai khalifah,” kata dia.
Hal ketiga yang disinggung TGB adalah bahwa perjumpaan manusia dengan sesuatu yang sangat revolusioner, terjadi di setiap waktu dalam patahan sejarah.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Amin Abdullah mengakui bahwa fenomena AI, algoritma, Chat GPT, dan lainnya memang mengubah tatanan. Tugas manusia untuk merespons dan menjawab tantangannya.
Amin juga mengakui bahwa AI telah melahirkan fragmentasi otoritas keagamaan. Umat saat ini tidak lagi percaya sepenuhnya pada Bahsul Masail NU atau Majelis Tarjih Muhammadiyah misalnya, tapi muncul fatwa-fatwa baru.
“Suka atau tidak suka, saat ini ada terfragmentasi otoritas,” kata dia.
Baca juga: Keberadaan AI di lingkungan pendidikan harus diatur secara ketat
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































