Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama PT Timah Tbk Restu Widiyantoro meminta dukungan teknologi untuk pengolahan logam tanah jarang yang dinilai dapat menjadi peluang untuk meningkatkan nilai tambah produk perusahaan.
PT Timah mengungkapkan potensi kandungan logam tanah jarang (LTJ) atau rare earth elements (REE) mencapai sekitar 25.700 ton di wilayah Bangka Belitung. Kendati demikian, perusahaan pelat merah ini mengaku terhambat keterbatasan teknologi pengolahan dan meminta dukungan dari berbagai pihak untuk merealisasikan potensi tersebut.
“Kami sudah mencoba menjajaki, berkomunikasi, berkolaborasi, untuk kerja sama, tapi hingga hari ini teknologi itu belum bisa kami dapatkan. Yang ada dan yang paling banyak itu malah pihak yang siap untuk menyediakan peralatan, tapi yang kami butuhkan ilmunya," kata Restu dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta, Rabu.
Ia juga mengakui bahwa progres pengembangan LTJ di perusahaan selama lebih dari satu dekade terakhir berjalan sangat lambat akibat keterbatasan akses terhadap teknologi yang dibutuhkan.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Operasi dan Produksi PT Timah Nur Adi Kuncoro menjelaskan bahwa potensi LTJ ini terkandung dalam mineral monasit dari aktivitas penambangan timah.
Meskipun konsentrasinya relatif kecil, di bawah satu persen dari total material, ia melihatnya sebagai peluang signifikan untuk meningkatkan nilai tambah produk.
Nur Adi mengungkapkan lima unsur LTJ utama yang terkandung dalam monasit PT Timah adalah cerium, lantanum, neodymium, yttrium, dan praseodymium, yang diketahui memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.
“Ini adalah beberapa logam yang memang mempunyai nilai yang cukup signifikan, dan ini presentasinya dari 3 sampai 35 persen yang terkandung dari sisi mineral monasit tersebut,” ujarnya.
Dalam mengawali pengembangan LTJ, PT Timah akan merevitalisasi fasilitas uji coba atau pilot project pengolahan mineral logam tanah jarang yang sudah ada di Tanjung Ular, Bangka Barat. Langkah ini diharapkan dapat menghasilkan LTJ yang memiliki nilai ekonomi.
Selain itu, perusahaan juga akan menjalin kerja sama riset untuk memastikan keandalan teknologi yang akan digunakan dalam memproduksi logam tanah jarang.
Nur Adi lebih lanjut menjelaskan PT Timah telah memiliki roadmap pengembangan pengelolaan mineral tanah jarang sejak 2010 dan terus menindaklanjutinya pada 2025.
Perusahaan juga telah berkoordinasi dan bekerja sama dengan pemasok teknologi yang dianggap kompeten, termasuk LCM, SRE, SREC, dan Taza Metal, untuk mewujudkan produksi LTJ.
Baca juga: PT Timah akui sulit tertibkan tambang ilegal pasca kasus korupsi
Baca juga: PT Timah adopasi inovasi teknologi tingkatkan kinerja produksi tambang
Baca juga: TINS mencatat laba bersih Rp908 miliar periode Januari-September 2024
Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025