Istanbul (ANTARA) - Prancis dan Spanyol, Kamis (30/10), kembali menyerukan pembatasan penggunaan hak veto di Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan alasan mekanisme tersebut berulang kali menghambat tindakan global dalam menghadapi krisis kemanusiaan, termasuk situasi di Gaza.
Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot menegaskan bahwa Dewan Keamanan perlu direformasi agar lebih mencerminkan realitas geopolitik saat ini dan mengembalikan legitimasi terhadap keputusan-keputusannya.
“Kami ingin memastikan dua kursi tetap di Dewan Keamanan diberikan kepada Afrika, serta agar Jepang, Jerman, dan Brasil juga mendapat kursi, sehingga keputusan yang diambil menjadi lebih sah,” ujarnya dalam Forum Perdamaian Paris.
Barrot menambahkan bahwa Prancis telah bekerja sama dengan Meksiko selama bertahun-tahun untuk mempromosikan inisiatif pembatasan hak veto dalam kasus kekejaman dan pelanggaran berat kemanusiaan. Usulan tersebut kini telah didukung oleh lebih dari 20 negara.
“Kami gagal mencapai komitmen bersama terkait Gaza,” katanya sambil menegaskan bahwa Dewan Keamanan harus memikul “tanggung jawab moral dan politik” untuk menegakkan hukum internasional.
“Itulah sebabnya kami begitu keras mendorong reformasi Dewan Keamanan, agar keputusan yang terhambat hak veto dapat dibuka kembali, terutama ketika hak asasi manusia dasar dipertaruhkan,” lanjut Barrot.
Menteri Luar Negeri Spanyol Jose Manuel Albares sependapat dengan Barrot. Ia menyatakan bahwa posisi Spanyol selalu konsisten, baik dalam isu Ukraina, Gaza, Sudan, maupun Sahel.
“Kami membela hukum internasional, hukum humaniter internasional, dan perlindungan terhadap warga sipil,” ujarnya.
Albares juga menyebut Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) sebagai lembaga yang “tak tergantikan,” sambil menegaskan bahwa “kehidupan enam juta warga Palestina di Timur Tengah bergantung pada lembaga tersebut.”
Ia menegaskan bahwa bantuan kemanusiaan harus dapat masuk ke Jalur Gaza tanpa hambatan, dan pihak yang bertanggung jawab atas serangan terhadap pekerja kemanusiaan harus dimintai pertanggungjawaban.
“Kita harus mengingat bahwa putusan Mahkamah Internasional bersifat mengikat bagi semua anggota PBB, termasuk otoritas Israel,” tegasnya. “Israel tidak bisa memiliki hak veto,” tambahnya.
Sementara itu, Presiden Komite Palang Merah Internasional (ICRC) Mirjana Spoljaric-Egger memperingatkan bahwa operasi kemanusiaan di Gaza masih menghadapi situasi yang “sangat kompleks, sensitif, dan berbahaya.”
“Gencatan senjata harus dipertahankan, karena jutaan nyawa sedang dipertaruhkan,” ujarnya.
“Jika pertempuran kembali pecah, rakyat tidak lagi memiliki daya tahan,” tambahnya.
Spoljaric-Egger juga mengingatkan bahwa mengabaikan hukum internasional di Gaza dan Sudan akan mengirimkan “sinyal kepada sekitar 450 kelompok bersenjata dan aktor non-negara bahwa segala sesuatu diperbolehkan,” sambil memperingatkan bahwa kekuatan mereka kini diperkuat oleh kemajuan teknologi baru.
Sumber: Anadolu
Baca juga: Akademisi: Reformasi hak veto PBB perlu demi kesetaraan antarbangsa
Baca juga: PBB: Reformasi Dewan Keamanan tergantung niat negara-negara besar
Penerjemah: Yoanita Hastryka Djohan
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































