Beijing (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno mengungkapkan salah satu isi pembicaraan dengan pemerintah Tiongkok adalah bagaimana meningkatkan kerja sama dengan China sehingga dapat membantu Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.
"Kita membahas bagaimana China bisa membantu Indonesia. Dalam hal ini, saya sampaikan bahwa kita punya target pertumbuhan ekonomi 8 persen," kata Eddy Soeparno kepada ANTARA di KBRI Beijing, pada Selasa (15/4).
"Dan China adalah satu-satunya negara di Asia yang pernah mendapat kesempatan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi, bahkan sampai 10 persen beberapa tahun berturut-turut, maka kita ingin 'sharing' pengalaman," kata Eddy lebih lanjut.
Eddy Soeparno berada di China pada 13-17 April 2025 untuk mengunjungi Beijing dan Shenzen.
Di Beijing, politisi asal PAN itu sudah bertemu dengan Ketua Komite Tetap Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat China (CPPCC) Wang Huning, Wakil Menteri Lingkungan dan Ekologi China Guo Fang serta mengunjungi Beijing Municipal Administrative Center (BMC) dan mendapat penjelasan tata kota Beijing.
Sedangkan di Shenzhen, Eddy berencana akan mengunjungi kantor perusahaan mobil elektrik BYD dan perusahaan teknologi Huawei.
Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menetapkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen pada 2029, dan dianggap sebagai sasaran ambisius.
"Apalagi sekarang di era teknologi ini, tidak ada negara yang ekonominya maju tanpa ada elemen teknologinya dan China sangat maju dari aspek teknologi, sehingga akhirnya kita sepakat bahwa perdagangan, investasi, kerja sama ekonomi harus diperkuat, apalagi di era perdagangan internasional mengalami perubahan yang sangat fundamental," tambah Eddy.
Eddy yang juga anggota Komisi XII DPR RI bidang energi, lingkungan hidup dan investasi itu mengaku diundang pemerintah China untuk membahas mengenai berbagai kebijakan tentang energi, transisi energi, hingga perkembangan energi terbarukan.
"Wakil menteri ekologi China menyampaikan bagaimana proses transformasi yang dilakukan oleh China dalam memperbaiki satu kualitas udara, memperbaiki polusinya, termasuk juga mengurangi secara signifikan pemanfaatan PLTU batubara menjadi pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan, terutama pembangkit listrik tenaga surya hanya dalam 10 tahun," jelas Eddy.
China, kata Eddy, saat ini tinggal 53 persen dalam pemanfaatan PLTU Batubara dari semula 67 persen.
"Bahkan per kemarin disampaikan bahwa rasio antara pemanfaatan pembangkit listrik energi fosil dan energi non-fossil itu sudah setara, 50-50, jadi kita bisa belajar dari situ," tambah Eddy.
Sedangkan dalam pembahasan dengan Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat China (CPPCC), Eddy juga membahas masalah kemandirian energi, transisi energi dan bagaimana China ikut membantu Indonesia dalam proses transisi energi dari aspek pengetahuan dan teknologi karena China memiliki teknologi yang baik di bidang pengembangan energi terbarukan.
"China juga menyampaikan tetap menghormati Indonesia (terkait perang dagang), karena Indonesia membina hubungan baik dengan semua pihak dan mereka mengatakan bahwa China punya posisi sendiri walau tetap menghargai posisi Indonesia dalam melaksanakan berbagai inisiatif ekonominya," tambah Eddy.
Eddy pun mengaku akan menyampaikan hasil kunjungan kerjanya ke mitra-mitra di DPR termasuk Kementerian Lingkungan Hidup maupun Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN).
"Misalkan saja, kita kemarin mengunjungi 'Beijing Municipal Centre' soal pengembangan kota baru di Beijing yang ramah lingkungan. Nah ini akan saya rangkum dan berikan kepada Kepala Otorita IKN saya share untuk masukan beliau. Pertemuan dengan wakil menteri lingkungan hidup dan ekologi juga saya akan 'share' dengan menteri lingkungan hidup tentang kiat kesuksesan China dan pihak mereka juga sangat terbuka untuk menjalin komunikasi dan kerja sama dengan Indonesia," jelas Eddy.
Ekonomi karbon
Hal penting lain yang dibahas ungkap Edy adalah soal pengembangan ekonomi karbon.
"Ekonomi karbon adalah salah satu potensi dan peluang ekonomi yang besar bagi Indonesia yang perlu kita pelajari lebih dalam lagi, dan China adalah salah satu negara yang sudah cukup lanjut dalam pengembangan ke sana," ungkap Eddy.
Eddy menyebut potensi ekonomi karbon Indonesia bisa berasal dari "natural based solution" seperti hutan, mangrove, lahan gambut maupun dari rekayasa yaitu "carbon trading" meski pemanfaatan "carbon trading" sampai sekarang volumenya masih rendah.
"Kedua, kita juga lihat bahwa kita perlu punya kemampuan untuk memperoleh sumber pendapatan dari pajak karbon. Jadi ini arah kebijakannya, regulasinya tentu kita bisa belajar, dari negara-negara yang sudah melakukannya lebih dulu," tambah Eddy.
Indonesia, ungkap Eddy, punya kemampuan untuk "carbon capture storage" besar, bahkan mungkin terbesar di Asia untuk menampung karbon.
"Saya kira ekonomi karbon menjadi salah satu di antara sekian banyak potensi ekonomi yang perlu dikembangkan dan bisa mendatangkan pendapatan negara yang besar ke depannya," tegas Eddy.
"Carbon trading" atau perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar di mana izin emisi atau unit karbon dapat diperdagangkan untuk mengurangi total emisi Gas Rumah Kaca.
Indonesia telah memiliki landasan hukum perdagangan karbon berdasarkan UU No 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) tapi hingga akhir 2024, peserta yang terdaftar sebagai Pengguna Jasa Bursa Karbon baru 100 partisipan.
Pemerintah juga sudah meresmikan Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) pada 20 Januari 2025 yang diharapkan dapat mendukung target iklim Indonesia yang tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).
Baca juga: PDB per kapita RI diproyeksikan 30.300 dolar AS pada 2045
Baca juga: ADB proyeksikan pertumbuhan ekonomi Asia-Pasifik turun pada 2025
Baca juga: Paradoks ekonomi Indonesia: pertumbuhan tinggi, ketimpangan melebar
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2025