Lamongan, Jawa Timur (ANTARA) - Salah satu produsen tenun ikat Parengan, yang berada di Desa Parengan, Kecamatan Maduran, Jawa Timur, Silvi Zulfiyani menyatakan bahwa permintaan produk khas Lamongan tersebut mulai mengalami peningkatan sebesar 40-60 persen menjelang bulan Ramadhan 1446 H.
"Permintaan tenun ikat di pasar lokal Jatim dan Jateng mengalami kenaikan 40-60 persen, dari total produksi biasanya 1.200 potong per bulan, kini menjadi 1.700 potong menjelang Ramadhan," ujar Silvi di Lamongan, Kamis.
Ia mengatakan, beberapa jenis produk yang dihasilkan dari proses tenun ikat yang masih menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) tersebut yakni, sarung, kain tenun ikat, kain tenun dobby, songket dan batik songket ikat (basokat).
"Dari beberapa produk itu, kain tenun jenis dobby yang paling laku di kalangan menengah ke atas," katanya.
Silvi menjelaskan, untuk kapasitas produksi usaha yang dikelolanya saat ini telah mengalami kemajuan yang pesat, dimana saat awal berdiri pada 1989 hanya mampu memproduksi kain tenun ikat 120 potong per tahun.
Sementara untuk saat ini, lanjutnya, per tahun mampu memproduksi 9.600 potong kain tenun ikat dengan komposisi pemasaran 75 persen untuk pasar ekspor dan pasar dalam negeri sebesar 25 persen.
"Untuk pemasaran ekspor dilakukan melalui eksportir di Surabaya," jelasnya.
Ia menambahkan, tenun ikat khas Lamongan hasil produksinya tersebut dijual mulai dari harga Rp225 ribu hingga Rp2,5 juta, tergantung dari jenis dan motif yang disesuaikan dengan tingkat kesulitan saat pembuatan.
"Ada tingkat kesulitan dan durasi waktu pada setiap produk saat proses pengerjaannya. Seperti pada jenis produk songket yang memiliki tingkat kesulitan tersendiri," tambahnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Lamongan, Anang Taufik menyebutkan bahwa ada 38 pemilik usaha tenun ikat di wilayah setempat, dengan total karyawan mencapai 2.400 orang.
"Tersebar di empat Kecamatan, yakni Parengan, Laren, Karanggeneng dan Sekaran. Sedangkan untuk nilai ekspor tenun Parengan per tahun mencapai Rp27 miliar," katanya.
Anang menambahkan bahwa intervensi dari pemerintah baik dari provinsi dan pusat terus dilakukan untuk mengembangkan kain tradisional Indonesia yang memiliki makna dan simbol budaya yang disebut wastra tersebut.
"Untuk itu, tenun ikat Parengan selalu kami hadirkan saat pameran, fesyen dan even-even lainya," kata Anang.
Sebagaimana diketahui, produk tenun ikat Parengan telah merambah ke pasar global atau diekspor ke sejumlah negara di Timur Tengah dan Somalia.
Gubernur Jawa Timur periode 2019-2024 Khofifah Indar Parawansa menetapkan Desa Parengan menjadi salah satu Desa Devisa di Jawa Timur pada 2022 melalui sebuah program yang diinisiasi oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Program tersebut bertujuan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan ekspor dengan memberikan pendampingan, akses ke pasar internasional, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Status sebagai Desa Devisa membuktikan bahwa produk tenun ikat Parengan tidak hanya memiliki nilai seni dan budaya yang tinggi, tetapi juga berdaya saing di pasar global.
Baca juga: Roro Esti dukung tenun Lamongan pada ajang fesyen IN2MF 2023
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah/Alimun Khakim
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2025