Jakarta (ANTARA) - Indonesia Fintech Society (IFSoc) memandang perlunya kebijakan yang lebih komprehensif bagi industri fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman daring (pindar) sehingga dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan UMKM dan menutup credit gap kepada UMKM.
“Kebijakan-kebijakan yang lebih komprehensif diperlukan untuk mendukung bahwa pindar ini dikelola dengan lebih baik, yang memang diperlukan oleh masyarakat dan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi akan jauh lebih baik,” kata Steering Committee IFSoc Hendri Saparini dalam press briefing secara daring di Jakarta, Kamis.
Hendri mengingatkan bahwa masih banyak penduduk Indonesia yang tergolong unbanked atau tidak memiliki rekening bank. Merujuk pada data Bank Dunia, pada 2021 sebanyak 48 persen penduduk Indonesia masuk dalam kategori unbanked.
Peranan pindar harus didorong untuk mendukung pembiayaan pada sektor produktif. Namun, ujar Hendri, hal ini tidak mudah untuk dicapai mengingat penyaluran pembiayaan tersebut belum maksimal.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menargetkan pembiayaan fintech untuk UMKM mencapai 40 persen dari outstanding pada 2024. Berdasarkan statistik P2P lending, pada September 2024 saja jumlah penyaluran pinjaman pada sektor produktif baru mencapai Rp7,6 triliun atau 28,57 persen dari total penyaluran.
Sementara itu, terdapat gap antara kebutuhan dan ketersediaan pembiayaan kepada UMKM sebesar Rp2.400 triliun. Pada 2026, kebutuhan pembiayaan UMKM mencapai Rp4.300 triliun. Namun, kemampuan modal suplai hanya Rp1.900 triliun.
“Maka semestinya kita juga memikirkan dan mendorong pemerintah untuk tidak hanya bicara urusan bunga atau price-nya, tetapi kita juga bicara apa strategi yang harus disiapkan agar pinjaman yang diberikan kepada masyarakat UMKM ini bisa betul-betul dimanfaatkan secara produktif memberikan nilai tambah,” kata Hendri.
Ia menambahkan bahwa secara nasional, dorongan pendanaan untuk sektor produktif sangat dibutuhkan untuk dapat mendukung pertumbuhan ekonomi. Maka dalam hal ini, semua pihak butuh untuk diberikan kesempatan melalui penyaluran pendanaan agar sektor produksi bergerak lebih cepat.
“Jadi memang keperluan pindar menjadi semakin penting karena kita ingin mendorong ada industrialisasi di level-level daerah. Kalau ini bisa terjadi, maka sebenarnya kita akan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi ini akan lebih baik,” kata Hendri.
Ia mengatakan, sektor produktif pada dasarnya memang memerlukan pinjaman yang bersifat jangka panjang dengan nominal yang lebih besar. Sehingga dari sisi industri, Hendri mengatakan bahwa investor sebenarnya juga membutuhkan pilihan-pilihan pendanaan seperti ini karena ini akan lebih stabil.
Oleh sebab itu, menurut dia, penting untuk menjaga keberlanjutan industri pindar baik dari sisi perlindungan peminjam (borrower) maupun dari sisi investor atau lender.
Hendri juga mengingatkan, harus dipahami bahwa layanan dari pindar merupakan pinjaman tanpa jaminan sehingga risiko akan jauh lebih besar dibandingkan pinjaman konvensional. Dengan demikian, perlu dukungan dari semua pihak agar ada kebijakan yang tepat.
“Yang kita hindarkan adalah pindar ilegal. Tetapi kita perlu sebuah kajian, kita perlu ada diskusi yang matang agar kebijakannya ke depan, turunan regulasi yang ada itu bisa mengembangkan seluruh stakeholder yang ada di industri ini,” kata Hendri.
Baca juga: OJK kenalkan Pindar sebutan baru dari pinjol
Baca juga: Ekonom sebut pinjaman online miliki peluang ekonomi besar
Baca juga: OJK catat laba industri fintech P2P lending Rp1.097,51 miliar
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024