Pontianak (ANTARA) - Hidup dari keluarga penenun sejak turun-menurun, membuat Hetty Kus Endang tidak lagi asing dengan kain Pantang Sintang. Sejak kecil, perempuan kelahiran Sintang, Kalimantan Barat, 1990, tersebut sudah ikut membantu orang tuanya dalam proses membuat kain Pantang, terutama saat mewarnai benang untuk ditenun, yang dalam bahasa daerah setempat dikenal dengan sebutan pantang.
Pantang sendiri merupakan kain tenun Suku Dayak Rumpun Iban, tepatnya subsuku desa. Bagi masyarakat Dayak, Pantang bukan sekadar kain untuk busana, melainkan ada nilai tradisi dan budaya untuk upacara sakral atau ritual, seperti untuk mandi anak ke sungai untuk penghormatan kepada tokoh adat maupun lainnya.
Ketertarikan Hetty untuk melestarikan dan menjadikan kain Pantang Sintang sebagai kebanggaan dan sumber kehidupan yang berkelanjutan. Keterlibatan dia, berawal dari keprihatinannya terhadap masa depan kain Pantang tersebut. Pasalnya, dari keluarga dan masyarakat Dayak di Kabupaten Sintang yang tetap menenun mulai berkurang. Selain itu, para penenun, sebagian besar, umurnya, bahkan sudah ada mencapai 80 tahun. Generasi penerus untuk menenun tidak ada lagi, sehingga berpotensi kain itu hanya tinggal cerita.

Dengan persoalan tersebut, sejak 2015 Hetty mulai mengamati kendala yang ada, belajar untuk melihat dari dalam tentang kain Pantang dan pada 2023 mulai serius untuk mengembangkan dan melestarikan kain yang merupakan kekayaan adat tersebut.
Sebagai bentuk keseriusannya dalam melestarikan kain pantang, perempuan yang semula bekerja sebagai staf di sebuah koperasi itu akhirnya mengundurkan diri agar lebih fokus. Hetty, kemudian juga mendirikan Galeri Kain Pantang Sintang di rumah pribadinya. Keberadaan galeri itu menjadi tonggak awal baginya untuk menjaga tradisi membuat kain Pantang agar tidak hilang tertelan zaman. Selain itu, di galeri tersebut juga dihadirkan rumah belajar untuk membuat kain Pantang.
Melalui galeri dan rumah belajar, edukasi tentang kain Pantang gencar dilakukan, yang menyasar anak muda dan kalangan umum. Pemberdayaan kaum perempuan yang menenun kain untuk bangkit bersamanya digeliatkan. Alhasil, hingga saat ini sudah ada 150 perajin perempuan kain Pantang telah diberdayakan dan dibina oleh Hetty. Bahkan, kini terdapat 20 anak-anak yang mulai ikut terlibat bersama orang tuanya dalam aktivitas menenun.
Tidak kalah penting, hadirnya galeri itu menjadi wadah untuk menampung, memamerkan dan menjual hasil perajin yang dibinannya. Dulu, pasar yang menjadi kendala bagi masyarakat, kini perlahan terbuka lebar. Bahkan, di galeri itu, kini setiap bulannya selalu menerima kunjungan dari kalangan pelajar dan wisatawan, baik Nusantara maupun mancanegara.
"Pengembangan kain Pantang Sintang ini bagi saya bukan untuk motif ekonomi pribadi saya semata, melainkan pelestarian, edukasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal. Kami bersama-sama menjaga agar kain ini lestari dan menjadi kebanggaan untuk anak cucu kami," ujar Hetty ketika dijumpai ANTARA.

Keunggulan
Selain sarat akan nilai tradisi dan budaya di setiap helai benang Kain Pantang Sintang, bahan, motif, dan proses membuatnya menjadi daya tarik sendiri. Bahan baku untuk pewarna kain masih menjaga keasliannya, dengan menggunakan pewarna alami. Tumbuhan di sekitar perkampungan dimanfaatkan sebagai pewarna alami, seperti daun mangga, daun enkerebang, kunyit, daun kemungat atau daun kemunting, leunca, serta lainnya.
Dengan menggeliatnya aktivitas menenun tersebut, semula daun yang dulu tidak termanfaatkan, kini mulai memiliki nilai ekonomis. Bahkan, daun-daun itu menjadi sumber pendapatan masyarakat setempat dan kini sudah dibudidayakan sebagai sumber bahan baku agar mudah didapat.
Terkait proses dalam membuatnya, Hetty tidak lepas dari aturan karena masih memegang erat tradisi, seperti hanya boleh dikerjakan oleh perempuan, tidak boleh menenun ketika ada keluarga yang meninggal, dan aturan tradisi lainnya. Karena itu, Dalam pembuatan sehelai kain Pantang sendiri masih dilakukan secara manual atau tradisional, sehingga membutuhkan waktu sekitar tiga pekan, hingga satu bulan. Proses yang detail, mulai dari mencari bahan pewarna benang, menenun, dan lainnya, membuat satu helai kain memakan waktu yang cukup panjang.
Untuk motif kain Pantang Sintang yang dikembangkan, saat ini sudah mencapai 50 jenis. Motif lama yang sudah tidak dibuat karena kerumitan dan hanya untuk hal sakral, kembali dihidupkan. Motif tersebut, seperti motif ruwit besai dan ruwit pipit. Motif tersebut pernah dipakai oleh Presiden Ke-7 RI Joko Widodo dalam forum internasional, yakni Gala Dinner World Water Forum (WWF) ke-10, Minggu, 19 Mei 2024, di Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana (GWK), Bali.
Selain memunculkan lagi motif lama, kemampuan Hetty memadukan dengan aneka warna kekinian dan diminati pasar, berhasil ia kembangkan, sehingga 50 motif tersebut hadir menawan, tanpa meninggalkan tradisi, karena hanya menyentuh di bagian warna tersebut.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2025