Penulisan ulang sejarah dinilai abaikan perspektif korban

3 months ago 21
“Penulisan sejarah ini kok perspektifnya perspektif pelaku, bukan perspektif korban; dan perempuan ini selalu menjadi objek, tidak pernah jadi subjek,”

Jakarta (ANTARA) - Penulisan ulang sejarah dinilai mengabaikan perspektif korban, terutama perempuan, dan lebih menonjolkan narasi pelaku sehingga dikhawatirkan mengandung kekeliruan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

“Penulisan sejarah ini kok perspektifnya perspektif pelaku, bukan perspektif korban; dan perempuan ini selalu menjadi objek, tidak pernah jadi subjek,” kata aktivis perempuan Eva Sundari dalam diskusi yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia, sebagaimana keterangan diterima di Jakarta, Selasa.

Pancasila sejatinya telah menekankan prinsip kesetaraan, inklusivitas, dan gotong royong. Namun, Eva memandang, dalam penulisan ulang sejarah yang diprakarsai Kementerian Kebudayaan, justru terjadi pengabaian terhadap kelompok perempuan sebagai korban.

“Kalau perempuan itu dinafikan, artinya ada kesalahan epistemik yang fatal,” tuturnya.

Baca juga: Menbud tekankan pentingnya melihat sejarah dengan akal sehat

Baca juga: Komisi X akan raker dengan Fadli Zon soal 1998 saat masa sidang dibuka

Oleh sebab itu, Eva memberi masukan kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk memahami tugasnya dalam memulihkan martabat kebangsaan. Ia meminta agar negara tidak melakukan impunitas terhadap budaya maupun sejarah.

“Menteri Kebudayaan itu harus mengembalikan martabat bangsa, dan di dalam bangsa itu ada perempuan korban. Bukan malah membungkam, menghindari, dan menghilangkan,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, sejarawan Andi Achdian juga mengutarakan kritik serupa. Ia mengkhawatirkan sejarah yang ditulis menjadi upaya pembersihan sesuatu hal dari catatan peristiwa masa lalu bangsa.

Andi pun menilai proyek penulisan ulang sejarah ini sebagai upaya yang terburu-buru, belum berpijak pada kesadaran etis, dan cenderung hanya berlandaskan teknikalitas. “Kalau mau menulis sejarah nasional, harus ada kesepakatan moral dan etis yang luas,” katanya.

Menurut dia, sejarah nasional tidak bisa ditulis hanya berdasarkan pengumpulan data teknis, apalagi dengan mengabaikan peristiwa traumatis seperti kekerasan terhadap perempuan. Untuk itu, negara diingatkan agar jangan sampai membangun narasi yang dapat melukai korban.

‘Tubuh perempuan selalu menjadi target dalam setiap krisis politik. Apakah ini hanya akan ditulis sebagai ekses? Itu sangat membahayakan. Kalau kekerasan terhadap perempuan ditulis sebagai ekses kerusuhan saja, itu membunuh korban untuk kedua kalinya,” ujarnya.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |