Jakarta (ANTARA) - Pengamat demokrasi yang juga Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani, mengungkapkan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) penting untuk mencegah munculnya kasus-kasus konflik antara TNI dengan Polri.
Dalam 10 tahun terakhir, dia mencatat ada sekitar 37 kasus ketegangan antara dua institusi aparat negara tersebut di tingkat bawah. Dia menilai ketegangan itu muncul karena masalah sosiologis pragmatis yang dialami TNI.
"Sebenarnya adalah soal argumen sosiologis pragmatis, ada ketimpangan kesejahteraan, ada ketimpangan peran, ada ketimpangan perlakuan, dan seterusnya, khususnya dalam 20 tahun terakhir," kata Ismail saat rapat dengan Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.
Dalam 20 tahun terakhir, menurut dia, TNI adalah entitas yang keberadaannya sudah tidak lagi dioptimalkan sebagaimana mestinya. Di era sebelumnya, TNI yang masih bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) merupakan institusi militer yang juga memiliki kekuatan sosial dan politik.
Selain itu, menurut dia, TNI merasa terpinggirkan sejak 20 tahun terakhir karena masih ada yang memandang tentara seperti di era-era awal Reformasi. Menurut dia, saat itu banyak kritik keras agar tentara kembali ke barak dan kewenangannya dibatasi sedemikian rupa.
"Yang pada akhirnya dia berada dalam satu handicap yang 'tidak berguna', padahal menurut banyak kalangan dan pimpinan TNI banyak keahlian yang bisa dimanfaatkan oleh mereka," katanya.
Walaupun begitu, dia meminta agar perubahan UU TNI yang kini sedang dirancang harus mempertegas jaminan demokrasi, khususnya dalam penataan hubungan antara sipil dan militer.
"Pendasaran filosofis bahwa Tentara Nasional Indonesia bertugas melindungi dan seterusnya, ini betul, harus dipertahankan, tetapi juga mesti diimbangi dengan pendasaran filosofis," kata dia.
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025