Pemkot Surabaya masifkan sosialisasi cegah penularan TBC

3 weeks ago 7
Penderita TBC jangan didiskriminasi

Surabaya (ANTARA) - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya terus memasifkan sosialisasi dan kolaborasi bersama unsur hexa helix di kota setempat sebagai upaya pencegahan dan pengendalian penyakit Tuberkulosis (TBC).

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi di Kota Surabaya, Senin mengatakan kegiatan ini merupakan upaya eliminasi TBC di Surabaya sekaligus mendukung percepatan target nasional dalam eliminasi TBC tahun 2030.

"Tujuan kegiatan ini adalah untuk menyampaikan informasi terkini mengenai situasi capaian program TBC di Kota Surabaya. Kita punya tekad untuk mengeliminasi TBC. Karena TBC merupakan salah satu penyakit yang sulit terdeteksi. Mereka biasanya malu, akhirnya tidak mengaku dan menularkan ke keluarga maupun tetangga," katanya di sela optimalisasi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) videografi Orkestra Cinta Merdeka TBC di Surabaya.

Ia mengemukakan, optimalisasi KIE dalam bentuk media sosial mengenai program TBC rutin dilakukan kepada semua unsur yang tergabung dalam tim percepatan penanganan TBC di Kota Surabaya.

"Bahkan Direktur Rumah Sakit Universitas Airlangga, Prof. Dr. Nasronuddin menciptakan lagu, di situ disebutkan, yang sakit jangan didiskriminasi. Stigma juga harus dirubah, ini cocok dengan target pemkot melalui RW 1 Nakes 1," katanya.

Baca juga: Dinkes Surabaya sediakan pengobatan TBC gratis di Puskesmas

Baca juga: DPRD minta Dinkes Surabaya serius tangani kasus TBC

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menjelaskan bahwa Pemkot Surabaya telah memiliki layanan kesehatan dengan konsep RW 1 Nakes 1 (R1N1) yang bertujuan untuk mempermudah dan mendekatkan pelayanan media kepada warga Surabaya. Layanan ini menjadi bagian dari pencegahan ketika warga mengalami sakit ringan atau berisiko tinggi.

"Dalam 1 RW bisa tahu yang hamil berapa, yang sakit berapa, dan semuanya. Itulah yang saya sebut sebagai Surabaya Bergerak. Lalu di sambutlah dengan gerakan pencegahan TBC ini, semoga dengan model ini TBC bisa dieliminasi di Kota Surabaya, dengan stigma bahwa orang terkena TBC jangan dijauhi, bisa berinteraksi tetapi menggunakan masker," tuturnya.

Di samping itu, TBC berbeda dengan COVID-19 sehingga tidak perlu dibangun tempat khusus TBC. Sebab, jika ada tempat khusus maka menimbulkan stigma di masyarakat bahwa penderita TBC harus diasingkan.

"Pendekatannya berbeda, dokter menyampaikan penderita bisa tetap berinteraksi dengan menggunakan masker dan rutin mengkonsumsi obat sehingga bisa sembuh. Penderita TBC jangan didiskriminasi, kami koordinasi dengan DPRD bagaimana pendekatan itu dilakukan," tuturnya.

Baca juga: Eliminasi kasus TBC di Surabaya melebihi target penapisan nasional

Baca juga: Dinkes Surabaya didorong maksimalkan penanganan TBC

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Nanik Sukristina mengatakan, TBC tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan, tetapi juga pada aspek sosial dan ekonomi. Stigma terhadap penderita TBC menjadi tantangan dalam upaya pengendalian penyakit.

"Kegiatan ini adalah untuk memperkuat sinergi dan kolaborasi antar sektor dalam mendukung program pengendalian TBC. Perlu tersampaikannya KIE kepada masyarakat dan menghilangkan stigma negatif di masyarakat terhadap penderita TBC," tuturnya.

Oleh sebab itu, butuh dukungan terhadap pasien TBC agar minum obat sampai tuntas dan tercapainya eliminasi TBC tahun 2030. Sasaran kegiatan ini adalah unsur pemerintah, swasta, komunitas, hukum dan regulasi, serta media.

Tak hanya itu saja, Dinkes Surabaya juga rutin melakukan skrining di Kota Pahlawan. Surabaya sendiri merupakan tempat rujukan di Indonesia Timur. Berdasarkan data hingga tahun 2024, total kasus TBC di Surabaya adalah sebanyak 11 ribu, dari 16 ribu target kasus nasional yang harus ditemukan.

"Angka 11 ribu termasuk dari luar wilayah Kota Surabaya. Kalau Kota Surabaya sendiri sebanyak 9 ribuan. Ada tambahan dari luar, karena Surabaya rujukan se-Indonesia Timur," katanya.

Menurut Nanik, hingga saat ini, 90 persen penderita TBC yang ditemukan tengah menjalani pengobatan dan tantangannya adalah penderita TBC harus melakukan pengobatan jangka panjang.

"Jika konsumsi obat berhenti maka penderita TBC akan mengalami resisten obat dan proses penyembuhan bisa lebih dari enam bulan," katanya.

Baca juga: Menkes gencarkan penemuan kasus untuk eliminasi TB 2030

Baca juga: Pemerintah pantau capaian penanganan TBC di daerah tiap pekan

Baca juga: Menkes: TBC gampang diobati, pengobatannya sudah bagus

Pewarta: Indra Setiawan
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |