PBB desak penghentian sementara konflik di Sudan demi kemanusiaan

1 month ago 14

PBB (ANTARA) - Pihak kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (5/8) mendesak penghentian sementara konflik di Sudan guna menjangkau keluarga-keluarga yang terjebak dan menghadapi kelaparan, terutama di Kota El Fasher yang terkepung.

Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mengatakan bahwa pihaknya meminta penghentian sementara agar dapat mengirim bantuan dalam skala besar dan memulihkan kehadiran penuh PBB (di wilayah tersebut).

"OCHA sekali lagi mendesak semua pihak untuk mengizinkan akses kemanusiaan di seluruh negara itu dan menyerukan kepada para donor untuk meningkatkan pendanaan fleksibel guna memenuhi kebutuhan kemanusiaan Sudan yang terus melonjak," kata kantor tersebut.

Badan-badan kemanusiaan menyatakan bahwa kebutuhan itu didorong oleh ketidakamanan, penyakit, kelaparan, banjir, dan pengungsian.

Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB untuk Urusan Kemanusiaan Tom Fletcher mengatakan bahwa dengan meningkatnya risiko kelaparan di El Fasher, ibu kota Negara Bagian Darfur Utara, waktu semakin menipis.

OCHA menyebutkan adanya sejumlah laporan dari kota tersebut yang menunjukkan bahwa penembakan sporadis terus berlanjut. Situasi masih sangat tidak stabil, dengan warga sipil menjadi korban utama dalam bentrokan terkini antara kelompok bersenjata dan keluarga yang terperangkap di salah satu pusat perkotaan yang paling terkepung di negara itu.

Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan bahwa dengan terputusnya rute-rute perdagangan dan diblokirnya jalur pasokan ke El Fasher, barang-barang pangan dasar seperti sorgum dan gandum, yang digunakan untuk membuat roti pipih dan bubur tradisional, harganya naik hingga 460 persen di kota itu dibandingkan dengan wilayah lain di Sudan.

WFP menyatakan bahwa sangat sedikit dapur komunitas yang masih beroperasi, dapur-dapur ini didirikan oleh kelompok lokal selama perang untuk menyediakan makanan hangat bagi orang-orang yang kelaparan.

Badan tersebut menyebutkan bahwa beberapa laporan menunjukkan sejumlah keluarga terpaksa mengonsumsi pakan ternak dan limbah makanan untuk bertahan hidup. Banyak yang berhasil mengungsi menyebutkan adanya peningkatan kekerasan yang merajalela, penjarahan, dan kekerasan seksual.

Laporan bertajuk "Potret Gender" (Gender Snapshot) PBB Perempuan (UN Women) menunjukkan bahwa perempuan menjadi pihak yang paling terdampak dari konflik yang terjadi di Sudan.

Studi tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga yang dipimpin perempuan menghadapi risiko kerawanan pangan parah tiga kali lipat dibandingkan dengan rumah tangga yang dipimpin laki-laki. Tiga perempat rumah tangga yang dipimpin perempuan tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan dasar. Hanya 1,9 persen di antaranya yang tergolong aman pangan, dibandingkan dengan 5,9 persen rumah tangga yang dipimpin laki-laki.

Studi itu juga menunjukkan bahwa 73 persen perempuan secara nasional tidak memenuhi standar minimum keberagaman makanan, yang membahayakan kesehatan ibu dan anak.

"Krisis ini didorong oleh ketidaksetaraan gender sistemik, yang diperparah oleh konflik dan pengungsian," kata PBB Perempuan. "Seiring semakin banyak perempuan yang harus memimpin rumah tangga, sering kali karena kematian atau hilangnya anggota keluarga laki-laki, mereka menghadapi hambatan terbesar dalam mengakses pangan, penghasilan, dan bantuan."

OCHA mengatakan bahwa wabah kolera terus menyebar di wilayah Darfur.

Kantor tersebut menyebutkan bahwa di Darfur Utara saja, mitra kemanusiaan melaporkan lebih dari 3.600 kasus sejak akhir Juni. Sementara itu, tercatat lebih dari 1.200 kasus dugaan dan 69 kematian di Darfur Selatan.

Kendati demikian, OCHA menyatakan bahwa mitra-mitranya memperingatkan bahwa kurangnya pelaporan kemungkinan menutupi tingkat keparahan wabah tersebut yang sebenarnya. Meskipun mitra PBB telah merespons wabah itu, akses yang terbatas terhadap air bersih, sanitasi, dan pasokan medis memperparah krisis.

Kantor tersebut juga menyatakan bahwa kebutuhan gizi meningkat dengan cepat.

"Survei terbaru menunjukkan tingkat malanutrisi akut global melebihi ambang batas darurat di semua wilayah yang disurvei di Darfur Utara, mencapai 34 persen di wilayah Mellit dan hampir 30 persen di At Tawaisha," papar OCHA. "Angka-angka ini menggarisbawahi kemerosotan yang mengkhawatirkan, tidak hanya di zona risiko kelaparan, tetapi juga di wilayah-wilayah terdampak konflik yang lebih luas."

PBB dan mitra-mitra kemanusiaannya sedang memperluas layanan terapeutik rawat jalan dan merencanakan pusat stabilisasi baru di wilayah-wilayah yang terdampak paling parah. Kendati demikian, OCHA mengatakan pendanaan darurat sangat diperlukan untuk mempertahankan dan memperluas upaya mereka.

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |