Yogyakarta (ANTARA) - Pakar Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Alfath Bagus Panuntun mengatakan ambang batas parlemen atau "parliamentary threshold" sebaiknya dipertahankan untuk menyeimbangkan antara keterwakilan politik dan stabilitas pemerintahan.
"Sebelumnya, ambang batas ini hanya 3,5 persen, lalu dinaikkan menjadi 4 persen pada revisi Undang-Undang Pemilu tahun 2017. Angka ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara keterwakilan politik dan stabilitas pemerintahan," katanya di Yogyakarta, Rabu.
Menurut Alfath, angka 4 persen dalam ambang batas parlemen bukanlah angka yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil kompromi antara inklusivitas demokrasi dan efektivitas pemerintahan.
Tanpa ambang batas parlemen, menurut dia, partai-partai kecil yang selama ini tidak lolos akan memperoleh kursi, namun di sisi lain, jumlah partai yang beragam dapat menyulitkan pengambilan keputusan di DPR.
"Jumlah partai yang lebih banyak akan menambah beban terkait fraksi, pembagian tugas, dan efektivitas kinerja DPR itu sendiri," katanya.
Dengan jumlah partai yang lebih sedikit dan lebih terstruktur, dia memandang proses legislasi dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah bisa berjalan lebih baik.
"Jangan sampai karena ingin mengakomodasi semua kelompok, malah justru yang terlayani adalah kepentingan politisi, bukan rakyat," tegasnya.
Lebih lanjut, Alfath menilai bahwa ambang batas parlemen juga memiliki peran penting dalam memperjelas ideologi dan program kerja partai politik.
"Dengan ambang batas yang lebih tinggi, partai-partai politik harus memiliki ideologi dan program yang jelas. Kalau tidak, akan sulit menentukan apa yang membedakan satu partai dengan partai lainnya," kata dia.
Di sisi lain, menurut dia, masyarakat sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan ada atau tidaknya ambang batas parlemen.
"Yang penting adalah fungsi-fungsi DPR berjalan dengan baik, tidak kedap terhadap kritik, dan benar-benar bekerja untuk rakyat," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) berpeluang membatalkan "parliamentary threshold" atau ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional.
"Setelah ada putusan presidential threshold, kemungkinan besar MK juga membatalkan parliamentary threshold yang selama ini selalu dipersoalkan oleh partai-partai politik," kata Yusril Ihza Mahendra di Denpasar, Bali (13/1).
Ia menilai putusan MK yang membatalkan atau menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen akan berdampak terhadap ketentuan ambang atas parlemen tersebut.
Keputusan itu, lanjut dia, memberikan harapan baru kepada partai-partai politik untuk berkembang dalam demokrasi Indonesia yang lebih sehat.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025