Jakarta (ANTARA) - Pakar Hidrogeologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Dasapta Erwin Irawan menyebut perlu melibatkan banyak disiplin ilmu guna memastikan sumber air yang digunakan untuk Air Minum dalam Kemasan (AMDK) aman.
“Ada biaya yang harus dikeluarkan industri AMDK itu sebelum mengambil airnya, dan itu jumlahnya tidak kecil. Itu mahal, karena melibatkan banyak ilmu,” kata Dasapta dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu.
Wakil Dekan Bidang Sumber Daya Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB itu menekankan bahwa pihak industri harus memahami dan mengetahui terlebih dahulu jenis mata air yang dipakai hingga dampaknya pada lingkungan.
Baca juga: Anggota Komisi XIII DPR RI dorong penguatan pengawasan industri AMDK
Mata air yang biasa dipakai di pegunungan, misalnya berasal dari air hujan yang jatuh di wilayah pegunungan. Air hujan kemudian meresap dan terinfiltrasi ke dalam tanah dan masuk ke lapisan akuifer dengan porositas dan permeabilitas tinggi.
Kecepatan infiltrasi air hujan ke dalam tanah itu bervariasi dan sangat lama. Biasanya, industri AMDK mengambil sumber air bakunya dari lapisan akuifer yang menggunakan mesin bor. Meski demikian, hal ini tidak dapat dilakukan secara sembarangan.
Ia mengatakan industri juga perlu mengetahui sumber resapan dari sumur-sumur bornya itu ada di mana. Hal itu bertujuan untuk dijadikan lahan konservasi agar debit airnya tetap terjaga.
“Untuk mengetahui elevasi daerah resapannya dari akuifer itu ada di mana, biasanya dilakukan melalui analisis hidrogeologi dengan menggunakan teknologi isotop,” kata dia.
Jika air tanah terpotong oleh topografi, airnya akan muncul ke permukaan sebagai mata air, yang menjadi hulu sungai.
“Mata air juga biasanya sering dipakai masyarakat yang tinggal di dekat pegunungan. Tapi, ini kan mata air terbuka yang sangat rentan terhadap kontaminasi. Makanya industri-industri tertentu biasanya tidak menggunakannya sebagai sumber air baku mereka,” tambahnya.
Ketua Perkumpulan Ahli Air Indonesia (PAAI) Irwan Iskandar menambahkan bahwa untuk mengambil air baku dari akuifer itu, industri terkait harus mengantongi izin dari pemerintah yang bertujuan untuk mengendalikan dan menjaga konservasi air tanahnya.
Permohonan izin diajukan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Badan Geologi dengan melampirkan data, seperti identitas pemohon, lokasi dan koordinat titik pengeboran, serta jangka waktu penggunaan.
Baca juga: Alasan air pegunungan dipilih sebagai sumber air bagi AMDK
Baca juga: Produsen AMDK terapkan PJL dorong konservasi sumber daya air
“Biasanya pada saat konstruksi sumur, diawasi oleh Badan Geologi. Diawasi konstruksinya, dan pada saat desain sumur dilengkapi lagi dengan kedalaman sumur, analisis kimia air, dan analisis uji pompanya,” ujarnya.
Nantinya, katanya, Badan Geologi tidak mengizinkan jika industri AMDK itu mengambil sumber air bakunya dari air tanah dangkal. Begitu juga dengan uji pompa, itu harus dilakukan selama 72 jam untuk dilihat hasil pemompaannya, apakah setelah dipompa itu airnya akan kembali atau tidak.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































