Jakarta (ANTARA) - Perdana Menteri kelima Malaysia Tun Abdullah Ahmad Badawi – biasa dipanggil Pak Lah – wafat di National Heart Institute di Kuala Lumpur, Senin, 14 April 2025, pukul 19.10 waktu setempat pada usia 85 tahun.
Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji'un. Semoga Allah melapangkan jalannya menuju Jannatun Firdaus, yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Aamiin Allahumma Aamiin.
Pak Lah memimpin Malaysia selama enam tahun (2003–2009) menggantikan Tun Mahathir Muhammad yang mundur. Kegagalan koalisi Barisan Nasional pada pemilihan umum 2008, yang saya hadiri saat itu dan terasa dramatis, memaksa Pak Lah mundur dan digantikan wakilnya Najib Razak. Sejak itu, nama Pak Lah pun meredup dalam dunia politik Malaysia yang sangat dinamis.
Kabar Pak Lah wafat cepat menyebar dari berbagai media internasional. Saya membacanya. Berbagai kisah pertemuan dengan Pak Lah di Jakarta dan Istana Perdana Putra, menyerbu dalam ingatan. Kematian merupakan perpindahan dari alam dunia ke alam barzah. Namun, kenangan tetap hidup.
Pertemuan pertama saya dengan Pak Lah di Hotel Mulia pada Januari 2004, setelah pertemuannya dengan Presiden Megawati di Istana Negara. Ketika itu sebagai Pemimpin Redaksi Harian Republika, saya mewawancarai Pak Lah mengenai berbagai isu hubungan kedua negara, yang sering sekali dinamis. Kesan saya, Pak Lah santun dan teliti menyimak setiap pertanyaan. Putra ulama Malaysia ini begitu tenang.
Setahun kemudian, Oktober 2004, Pak Lah kembali ke Jakarta, menghadiri pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden ke-6 Indonesia. Saya kembali bertemu Pak Lah di Shangri-La Jakarta. Di sini, Erick Thohir (Direktur Utama Abdi Bangsa, penerbit Republika) juga bertemu Khairy Jamaluddin, menantu Pak Lah yang juga sahabat Pak Erick. Juga hadir pemimpin Kantor Berita Bernama Datuk Kalimullah Hassan, dan Kamal Khalid, staf utama Pak Lah.
Baca juga: Obituari Perdana Menteri ke-5 Malaysia Abdullah Ahmad Badawi
Kami berbincang banyak hal, terutama hubungan kedua negara. Masa itu, isu Ambalat sudah memanas. Unjuk rasa disertai pembakaran bendera Malaysia di depan Kedutaan Besar Malaysia pun terjadi, disertai teriakan “Ganyang Malaysia”.
Dalam perbincangan dengan Khairy Jamaluddin, Datuk Kalimullah, Kamal Khalid, dan Erick Thohir, tercetus ide kerja sama media. Ide tersebut terwujud dengan kerja sama pertukaran berita Berita Harian dengan Republika.
Isu Ambalat dan tenaga kerja terus memanaskan hubungan Indonesia-Malaysia. Melihat situasi tersebut, saya hubungi Kamal Khalid melalui telepon. Saran saya, Pak Lah bertemu dengan ulama-ulama Indonesia.
Usul ini disambut Pak Lah. Senin (14 Maret 2005) siang, Pak Lah menyambut hangat sejumlah ulama di ruang kerjanya, Istana Perdana Putra, di antaranya KH Said Aqil Siradj (NU), Din Syamsuddin (Muhammadiyah), KH Cholil Badawi (Dewan Dakwah). Juga hadir Pak Garibaldi Thohir, Erick Thohir, saya, dan Irfan Junaedi (kini Direktur Pemberitaan Kantor Berita Antara).
Setelah bertemu, Pak Lah mengajak saya ke jendela ruang kerjanya. Dari sini, terlihat Masjid Putra yang megah. Dengan suaranya yang lembut, Pak Lah mengatakan, “Dari sini (ruang kerja) negara diurus, tujuannya ke sana (sambil menunjuk Masjid Putra),” kata-kata Pak Lah itu sangat menyentuh hati.
Saya menulis khusus di Kolom Resonansi Harian Republika, Rabu, 16 Maret 2005, dengan judul Badawi, termasuk tentang Islam Hadhari yang dikampanyekannya. Buku Islam Hadhari, yang dihadiahkan untuk kami, menekankan nilai-nilai Islam dalam pemerintahan. Ini mengingatkan saya pada sejarah kecemerlangan era Andalusia.
Pak Lah saya kenang sebagai tokoh yang sangat peduli pada hubungan negara serumpun Indonesia-Malaysia. Dalam pertemuan di Hotel Mulia Jakarta, Pak Lah mengajak sejumlah wartawan senior Malaysia, di antaranya Tan Sri Johan Jaafar.
Kami melakukan pertemuan dan melahirkan Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia (ISWAMI). Dari Indonesia ketika itu hadir antara lain Tarman Azzam, Ilham Bintang, Saiful Hadi Chalid, N Syamsuddin Ch Haesy, dan saya. Hingga kini, ISWAMI – nama ini dicetuskan Tan Sri Johan Jaafar, ketika itu CeO Media Prima – terus aktif bertukar informasi tentang kedua negara, termasuk berbagai persoalan yang berpotensi menjadi gesekan.
Usai Sholat Jumat (16/2/2007) kami bertemu dengan Pak Lah di Putra Jaya dalam rangkaian Malaysia International Visitors Programme, yang diselenggarakan Institute of Strategic and International Studies Malaysia.
Pertemuan yang difasilitasi Datuk Zamzamin Nurdin, melibatkan 13 pemimpin media Indonesia itu – di antaranya Toriq Hadad (Tempo), Budiono Kartohadiprojo (Gatra), Arifin Asydhad (saat itu wakil pemred detik.com), Nugroho Yudho (Kompas), Arys Hilman (Republika). Saya saat itu Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara, dipercaya memimpin delegasi.
Berbagai pertanyaan tajam, di antaranya soal hubungannya dengan Tun Mahathir Muhammad, dijawab santai Pak Lah. Suasana terasa lebih cair.
Ini pertemuan keempat saya dengan Pak Lah, selain ketika mengikuti kunjungan kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kesan saya, Pak Lah berusaha sekuatnya mempererat hubungan Malaysia-Indonesia.
Baca juga: PM ke-5 Malaysia Abdullah Ahmad Badawi tutup usia
Dengan Presiden SBY, keduanya sering berkomunikasi melalui telepon bila ada persoalan yang berpotensi mengganggu hubungan kedua negara. Bahkan, keduanya sepakat melakukan pertemuan tahunan secara bergantian di Jakarta atau di Kuala Lumpur. Suatu yang pantas dicontoh oleh pemimpin kedua negara.
Pak Lah wafat, Senin (14.4) malam. Pemimpin baik ini tidak pergi. Allahyarham tetap hidup dalam kenangan. Orang baik akan selalu dikenang karena kebaikannya. Selamat jalan, Pak Lah tetap ada.
*) Asro Kamal Rokan, Presiden ISWAMI Indonesia, mantan Pemimpin Redaksi Harian Republika, mantan Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN Antara
Baca juga: Mantan PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi terkena demensia
Copyright © ANTARA 2025