Mataram (ANTARA) - Pagi di Pantai Senggigi, Lombok, selalu dimulai dengan suara ombak yang konsisten. Tidak terlalu ganas, tetapi cukup berkarakter untuk memancing para peselancar turun ke laut.
Pada Desember 2025, ritme alam itu berpadu dengan denyut manusia dari berbagai penjuru. Ratusan peselancar domestik dan mancanegara berkumpul, papan selancar berjajar di bibir pantai, menandai sebuah ambisi yang lebih besar dari sekadar lomba. Nusa Tenggara Barat (NTB) sedang menjemput peluangnya untuk masuk ke panggung surfing atau selancar kelas dunia.
Senggigi Open Surfing 2025 menjadi simbol penting dari arah baru pengembangan pariwisata NTB. Dengan ratusan peserta dari berbagai provinsi hingga luar negeri, ajang ini menunjukkan bahwa NTB tidak kekurangan daya tarik alam maupun komunitas.
Ombak yang stabil, garis pantai yang indah, serta iklim yang relatif konsisten sepanjang tahun menjadi modal dasar yang tidak dimiliki semua daerah. Dalam lanskap wisata olahraga global, faktor alam adalah prasyarat mutlak, dan NTB memilikinya secara alami.
Hanya saja, kekuatan alam saja tidak cukup. Ajang ini hadir di tengah upaya pemerintah daerah menggeser wajah pariwisata dari sekadar mengejar jumlah kunjungan menuju kualitas pengalaman.
Selama bertahun-tahun, pariwisata kerap diukur dari angka wisatawan, tanpa cukup perhatian pada dampak, daya dukung, dan keberlanjutan. Wisata olahraga menawarkan pendekatan berbeda.
Ia cenderung menghadirkan wisatawan dengan minat khusus, masa tinggal lebih lama, dan keterikatan yang lebih kuat dengan objek wisata.
Dalam konteks itu, surfing menjadi pintu masuk yang logis. NTB memiliki Senggigi, Gerupuk, Selong Belanak, Teluk Ekas, hingga Lakey di Dompu yang sudah lama dikenal di kalangan peselancar dunia.
Sebagian titik, bahkan telah menjadi rujukan internasional karena kualitas ombaknya. Hanya sajs, selama ini, potensi tersebut lebih banyak bergerak secara alami, belum sepenuhnya dirangkai dalam satu ekosistem pariwisata olahraga yang terencana dan terkelola.
Berkelanjutan
Tantangan utama NTB bukan pada kemampuan menggelar ajang, melainkan memastikan bahwa setiap ajang menjadi bagian dari ekosistem yang berkelanjutan.
Senggigi Open Surfing 2025 memang berhasil menghadirkan atmosfer kompetisi yang berkelas dan menggairahkan ekonomi lokal dalam jangka pendek.
Hotel kembali terisi, aktivitas restoran dan UMKM meningkat, serta kawasan Senggigi yang sempat terpuruk pascagempa dan pandemi, perlahan menunjukkan denyut baru.
Pertanyaan krusialnya adalah bagaimana dampak itu dijaga agar tidak berhenti setelah spanduk lomba diturunkan.
Banyak daerah mampu menggelar ajang sekali atau dua kali, tetapi gagal menjadikannya agenda berkelanjutan.
Pengalaman daerah lain menunjukkan bahwa surfing kelas dunia tidak tumbuh dari satu ajang besar, melainkan dari konsistensi kalender, kepastian regulasi, dan kesiapan objek wisata dari waktu ke waktu.
NTB mulai menapaki arah itu melalui kolaborasi lintas sektor. Pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, asosiasi selancar, dan pelaku usaha pariwisata mulai bergerak dalam satu irama.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































