Menumbuhkan literasi koperasi di tengah bonus demografi

1 week ago 6

Jakarta (ANTARA) - Sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga inovasi perkoperasian Indonesian Consortium for Cooperative Innovation (ICCI) mengungkapkan bahwa minat anak muda terhadap koperasi masih terlalu rendah. Berdasar survei tersebut, hanya sekitar 6 persen anggota koperasi berasal dari Generasi Z usia 12 – 27 tahun.

Jawabannya bisa beragam ketika mereka ditanya kenapa tidak tertarik menjadi anggota koperasi. Namun yang jelas, ini menunjukkan masih rendahnya literasi koperasi, khususnya di kalangan generasi muda.

Ketiadaan pendidikan koperasi dalam kurikulum nasional, dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, menjadi salah satu penyebab rendahnya literasi koperasi ini, yang pada akhirnya akan memperlemah peran koperasi sebagai pilar ekonomi kerakyatan.

Kondisi ini menjadi perhatian di tengah upaya pemerintah meningkatkan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Koperasi, yang semestinya menjadi kendaraan kolektif bagi pemberdayaan ekonomi rakyat, belum cukup dikenal dan dipahami generasi produktif.

Minimnya literasi koperasi tampak dari belum terintegrasinya materi koperasi secara memadai dalam kurikulum pendidikan nasional. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, koperasi hanya muncul sebagai bagian kecil dalam pelajaran ekonomi atau kewarganegaraan. Di tingkat perguruan tinggi, pendidikan koperasi hanya ditawarkan dalam program studi tertentu, itu pun tidak merata.

Penulis berpendapat bahwa pembelajaran tentang perkoperasian seharusnya dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional, secara berjenjang mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan sebagai bagian integral dari pendidikan kewirausahaan.

Kita bicara koperasi, kita bicara tentang ekonomi kerakyatan yang inklusif. Alangkah baiknya jika sejak dini siswa memahami prinsip-prinsip koperasi, maka semangat gotong royong ini akan terus meningkat, namun jika sebaliknya maka koperasi bisa terdegradasi dan dilupakan. Koperasi adalah bagian dari sejarah yang tidak dapat terpisahkan.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui program Kurikulum Merdeka belum secara eksplisit mencantumkan koperasi dalam capaian pembelajaran utama. Padahal, kurikulum ini membuka ruang untuk penguatan karakter kewirausahaan, yang semestinya sejalan dengan nilai-nilai koperasi: keadilan, demokrasi ekonomi, dan partisipasi aktif anggota.

Data terbaru dari Kementerian Koperasi menunjukkan bahwa hingga Desember 2024, terdapat 130.119 koperasi aktif di Indonesia. Meski jumlah ini menurun dari hampir 209 ribu unit satu dekade lalu akibat penertiban koperasi tidak aktif, kontribusi koperasi terhadap ekonomi nasional justru meningkat.

Pada 2023, koperasi tercatat menyumbang 6,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, melampaui target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 yang sebesar 5,5 persen.

Di sisi lain, UMKM yang menjadi mitra strategis koperasi menyumbang lebih dari 61 persen terhadap PDB nasional dan menyerap hampir 97 persen tenaga kerja. Banyak pelaku UMKM yang bergantung pada koperasi, terutama koperasi simpan pinjam dan koperasi produksi, untuk memperoleh akses permodalan dan distribusi produk.

Koperasi bukan hanya alat ekonomi, tetapi juga wadah pembelajaran dan solidaritas sosial yang dapat memperkuat daya saing lokal.

Generasi muda dan digitalisasi

Indonesia tengah menikmati puncak bonus demografi yang diperkirakan berlangsung hingga 2030. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada 2024, lebih dari 70 persen penduduk Indonesia berada dalam kelompok usia produktif yang berusia antara 15 - 64 tahun.

Ini menjadi peluang besar untuk meningkatkan produktivitas dan konsumsi nasional, jika dikelola dengan baik. Bonus demografi ini membawa harapan besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun, rendahnya literasi koperasi membuat generasi muda lebih tertarik pada model bisnis individualistik, seperti startup teknologi, dan kurang tertarik pada pendekatan ekonomi berbasis komunitas.

Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Universitas Padjadjaran pada akhir 2023, sebanyak 68 persen responden mahasiswa tidak memahami peran koperasi dalam perekonomian nasional.

Sebagian besar generasi muda juga belum tertarik untuk menjadi anggota koperasi atau membentuk koperasi mahasiswa. Mereka lebih familier dengan aplikasi pinjaman online daripada koperasi simpan pinjam.

Selain tantangan literasi, koperasi juga menghadapi ketertinggalan dalam hal digitalisasi. Sebagian besar koperasi di Indonesia masih dikelola secara konvensional. Padahal, dalam era ekonomi digital, koperasi juga dituntut untuk mampu bertransformasi agar tetap relevan dan efisien.

Beberapa koperasi modern telah mulai berinovasi. Koperasi petani di Banyuwangi, misalnya, memanfaatkan aplikasi berbasis blockchain untuk memastikan transparansi dalam distribusi hasil panen, tetapi koperasi seperti ini masih sangat terbatas.

Sejak 2020 hingga 2023, sebanyak 400 koperasi di seluruh Indonesia telah berhasil bertransformasi menjadi koperasi modern melalui program modernisasi koperasi yang digulirkan oleh Kementerian Koperasi. Dari jumlah tersebut, 220 koperasi bergerak di sektor pangan, sementara 180 lainnya di sektor non-pangan. Kemenkop menargetkan hingga akhir tahun 2024, sebanyak 500 koperasi akan bertransformasi menjadi koperasi modern.

Kisah inspiratif datang dari Dwi Andika Irawan, pendiri startup logistik rantai pasok dalam menunjang kebutuhan usaha UMKM. Keberhasilan Dwi Andika menunjukkan bahwa inovasi anak muda bisa menjawab tantangan sektor esensial.

“Bonus demografi tentu harus didukung dengan peningkatan lapangan kerja dan kualitas pendidikan,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan moral di tengah arus teknologi yang kian cepat.

Kolaborasi dan pendidikan kolektif

Untuk meningkatkan peran koperasi dan menjawab tantangan literasi, sejumlah langkah strategis perlu segera diambil.

Pertama, pemerintah perlu mengintegrasikan materi koperasi dalam kurikulum nasional, bukan hanya pada jenjang sekolah, tetapi juga pendidikan tinggi. Pendidikan koperasi dapat diintegrasikan dalam mata kuliah kewirausahaan, ekonomi pembangunan, atau bahkan menjadi program studi tersendiri.

Kedua, perlu ada insentif bagi sekolah dan kampus yang mengembangkan koperasi siswa atau koperasi mahasiswa sebagai bagian dari praktik kewirausahaan kolektif. Inkubator koperasi berbasis kampus dapat menjadi laboratorium kewirausahaan sosial yang efektif.

Ketiga, kolaborasi antara dunia usaha, koperasi, dan lembaga pendidikan tinggi perlu diperkuat dalam bentuk riset, magang, dan pendampingan koperasi.

Terakhir, perlu adanya kampanye literasi koperasi nasional yang menyasar pelajar, mahasiswa, dan pelaku UMKM muda. Kampanye ini harus mengangkat narasi bahwa koperasi bukan konsep kuno, tetapi sebuah model bisnis kolektif yang mampu bersaing di era digital.

Dari ujung barat hingga timur Indonesia, sejumlah koperasi telah berhasil menembus pasar ekspor internasional, menunjukkan potensi besar koperasi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Koperasi Inovac di Aceh misalnya, mengekspor minyak nilam ke Prancis senilai Rp1 miliar, memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen minyak atsiri berkualitas tinggi. Koperasi Desa Ekspor Indonesia di Flores berhasil mengekspor vanili ke Jepang dan negara-negara Eropa.

Koperasi Emas Hijau Papua melakukan ekspor perdana 1,2 ton kopi ke Belanda dan Jepang. Di Sumatera Barat, Koperasi Iko Sero mengekspor 480 ton bumbu rendang ke Arab Saudi.

Keberhasilan ini membuktikan bahwa koperasi, dengan dukungan kebijakan dan akses pasar yang tepat, dapat menjadi motor penggerak ekspor nasional sekaligus instrumen pemberdayaan ekonomi rakyat.

Tantangan literasi koperasi bukan sekadar masalah kurikulum, tetapi menyangkut arah pembangunan ekonomi nasional yang ingin dituju: ekonomi pasar bebas atau ekonomi berbasis solidaritas sosial. Jika bonus demografi dikelola dengan memperkuat nilai-nilai kolektif dan partisipatif seperti koperasi, Indonesia berpeluang membangun model pembangunan yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Namun, jika koperasi terus dikesampingkan, Indonesia berisiko kehilangan momentum dan kembali pada struktur ekonomi yang timpang dan eksklusif.

Sebagaimana diungkapkan oleh Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia: “Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong-menolong.” Kini, pertanyaannya adalah: apakah generasi muda kita masih memahami makna gotong-royong dalam dunia ekonomi, jika tidak ada di kurikulum?

Sudah saatnya pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil menjadikan koperasi sebagai bagian dari strategi besar pembangunan nasional, bukan sekadar pelengkap narasi ekonomi kerakyatan.

*) Luqmanul Hakim, S.E., M.M adalah Pegiat Koperasi dan UMKM

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |