Jakarta (ANTARA) - Dalam dunia pemberitaan, ada satu pola yang memang sulit dihindari: Bad news is good news. Persoalan, intrik, dan krisis sering kali mendominasi tajuk utama, meninggalkan sedikit ruang bagi cerita tentang keberhasilan dan pencapaian.
Selalu saja ada sisi pesimisme dalam setiap berita yang mestinya membangun optimisme nasional.
Bukankah sudah saatnya kita mengganti cara kita berpikir? Seperti orang bijak pernah berkata, If you can't change it, change the way you think about it. Mari kita mulai mempersoalkan berbagai keberhasilan kita.
Isu yang paling segar untuk dipersoalkan adalah Timnas Indonesia yang mampu mengalahkan Bahrain. Mari kita pertanyakan, kok bisa kita memiliki peluang berlaga di Piala Dunia 2026?
Jawabannya tidak sekadar keberuntungan, melainkan hasil dari pendekatan sistematis: adanya program global talent scouting untuk pemain dan pelatih, manajemen PSSI yang semakin profesional, sesi uji tanding dengan tim-tim terbaik dunia serta investasi dalam fasilitas pelatihan kelas dunia seperti Garudayaksa Academy dan stadion berstandar FIFA yang baru dibangun.
Berikutnya, Program Makan Bergizi Gratis yang memasak tiga juta porsi setiap hari. Kok bisa tingkat keamanan makanannya yang lebih baik dibandingkan risiko kecelakaan pesawat? Ini adalah hasil dari sistem yang dirancang dengan cermat. Setiap dapur dikelola oleh Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) yang telah mendapatkan pelatihan khusus, didukung oleh ahli gizi serta penerapan standar operasional berbasis Global Best Practice (GBP) dalam produksi massal.
Keberhasilan sektor pangan juga patut menjadi dipersoalkan. Panen padi tahun ini mencatat rekor tertinggi dalam tujuh tahun. Sementara, stok beras di Badan Urusan Logistik (Bulog) mencapai 2,2 juta ton, jumlah tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Di balik pencapaian ini, ternyata ada reformasi kebijakan: penyederhanaan penyaluran pupuk, peningkatan jumlah pupuk subsidi, dan kebijakan pembelian gabah yang mendukung kesejahteraan petani. Ini juga jadi jawaban bahwa pembentukan Kementerian Koordinator Khusus Pangan memang lebih efektif.
Di sektor keuangan dan investasi, persoalan serupa muncul: Bagaimana mungkin tokoh-tokoh kelas dunia seperti Ray Dalio dan Jeffrey Sachs bersedia bergabung dalam kepengurusan Danantara? Jawabannya ada pada proses seleksi berbasis global talent scouting, Presiden Prabowo turun tangan melakukan pendekatan langsung serta kebijakan yang menjamin kepengurusan Danantara bebas dari kepentingan politik.
Dengan tata kelola berbasis Global Best Practice (GBP) dan potensi besar yang ditawarkan, Danantara menjadi magnet bagi profesional kelas dunia.
Terakhir, bagaimana mungkin defisit APBN tetap terkendali di angka 2,5 persen sesuai UU APBN 2025, padahal banyak program baru yang diluncurkan? Ini bukan sekadar janji, tetapi hasil dari realokasi anggaran yang lebih tepat sasaran, pengelolaan fiskal yang hati-hati serta optimalisasi pemanfaatan dividen BUMN untuk investasi BPI Danantara.
Dengan menyoroti keberhasilan secara kritis, kita tidak hanya mengakui pencapaian, tetapi juga membangun pola pikir optimistis dan konstruktif. Indonesia sedang bergerak maju, dan sudah saatnya kita ikut serta dalam narasi ini, bukan dengan sekadar menjadi penonton, tetapi berada di tengah-tengah melihat juga hal baik yang bisa didukung.
*) Noudhy Valdryno merupakan Deputi II Bidang Diseminasi dan Media Informasi Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO)
Pewarta: Noudhy Valdryno *)
Editor: Imam Budilaksono
Copyright © ANTARA 2025